Lihat ke Halaman Asli

Meltry SilvaniDesta

Asisten Psikolog

Fenomena Resiliensi dan Dampak Psikologis

Diperbarui: 30 Mei 2023   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Penulis : A. Kasandra Putranto & Meltry Silvani Desta

Dalam perjalanan hidup kita, kemampuan untuk bangkit kembali dan berkembang di tengah kesulitan adalah kualitas luar biasa yang telah menjadi subjek penelitian ekstensif di bidang psikologi.

Salah satu fenomena resiliensi yang terjadi yaitu resiliensi yang terjadi pada masa pandemi. Selama masa pandemi, banyak terjadi perubahan yang salah satunya aspek pendidikan dimana di dalam dunia pendidikan harus dapat beradaptasi dengan kondisi pandemi. Terdapat perubahan kebijakan pemerintah Indonesia yang dimana pembelajaran dilakukan dirumah untuk memutus penyebaran virus Covid-19 (Faiz dalam Yuhenita & Indiati, 2021). Kebijakan baru ini menyebabkan adanya tekanan baru dan menuntut adanya penyesuaian diri terhadap kebiasaan yang baru. Untuk beberapa orang sulit untuk bisa beradaptasi dan menjadi pemicu stress karena tidak kesiapan secara fisik, psikis, maupun aspek-aspek lainnya. Mansyur (dalam Yuhenita & Indiati, 2021) menjelaskan bahwa bagi orang tua yang bekerja maupun yang tidak bekerja, kebijakan sekolah yang baru ini dapat menjadi masalah yang baru. Karena terjadi perubahan mulai dari perubahan waktu, penguasaan materi, dan juga harus dapat menjaga kestabilan emosi antara anak dengan orang tua.

Bagi orang tua yang tidak terbiasa dalam mendampingi anak-anaknya dalam belajar akan membuat orang tua lebih terbebani karena harus dapat membagi waktu nya untuk pekerjaannya dan waktu untuk mendampingi anaknya (Sari, 2021). Hal tersebut menjadi pemicu dimana terjadi nya kekerasan pada anak. Berdasarkan informasi yang didapat dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) sejak tanggal 1 Januari 2020 sampai dengan 23 September 2020 jumlah kekerasan pada anak di Indonesia yaitu sebanyak 5.697 kasus dengan jumlah korban sebanyak 6.315 (Faiz, Soleh, et al., dalam Yuhenita & Indiati, 2021).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yuhenita & Indiati (2021) menunjukan hasil skor resiliensi yang rendah yang artinya tingkat resiliensi yang rendah dapat memicu tingkat stress yang tinggi. Hal tersebut menunjukan bahwa sangat penting untuk mendampingi anak saat pembelajaran di rumah dilakukan dan untuk mengedukasi orang tua yang memiliki resiliensi yang rendah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru yaitu dengan melakukan kunjungan kerumah untuk membantu orang tua mendampingi anak dalam belajar walau dengan waktu yang terbatas.

Resiliensi mengacu pada kapasitas untuk beradaptasi secara positif dalam menghadapi kesulitan, trauma, tragedi, atau sumber stres yang signifikan. Ini mencakup kemampuan untuk menavigasi melalui situasi sulit, menjaga kesejahteraan emosional, dan muncul lebih kuat dari kemunduran. Pernyataan lain tentang resiliensi yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Selain itu Pidgeon,Rowe, Stapleton, Magyar, dan Lo (2014) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk merespon permasalahan dengan baik, kemampuan untuk berhasil dalam menghadapi kesengsaraan,serta mampu untuk memiliki harapan yang lebih dalam keadaan kesulitan

Hasil studi Misasi & Izzati (2019) menunjukkan bahwa resiliensi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu saja (internal), tetapi juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar (eksternal). Faktor Internal terdiri dari spiritualitas, self efficacy, optimisme dan self esteem. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari dukungan sosial.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan dampak signifikan dari pola pikir terhadap resiliensi. Penelitian yang dilakukan oleh Dweck (2008) tentang growth mindset menekankan bahwa individu yang percaya kemampuan dan kualitasnya dapat dikembangkan melalui usaha dan ketekunan menunjukkan tingkat resiliensi yang lebih tinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa mengadopsi mindset berkembang dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengatasi kesulitan.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan dampak signifikan dari pola pikir terhadap resiliensi. Penelitian yang dilakukan oleh Dweck (2008) tentang growth mindset menekankan bahwa individu yang percaya kemampuan dan kualitasnya dapat dikembangkan melalui usaha dan ketekunan menunjukkan tingkat resiliensi yang lebih tinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa mengadopsi mindset berkembang dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengatasi kesulitan.

Penelitian oleh Southwick et al. (2014) menekankan peran fleksibilitas kognitif dalam ketahanan. Fleksibilitas kognitif mengacu pada kemampuan untuk menyesuaikan pemikiran seseorang, mengubah perspektif, dan menemukan solusi alternatif untuk tantangan. Individu dengan fleksibilitas kognitif yang tinggi dapat membingkai ulang pengalaman negatif, memandang kemunduran sebagai hal yang sementara, dan fokus pada pemecahan masalah daripada berkutat pada masalah, sehingga meningkatkan ketahanan mereka.

Penelitian telah menunjukkan bahwa menemukan makna dan tujuan dalam menghadapi kesulitan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan ketahanan pasca-trauma. Penelitian oleh Tedeschi dan Calhoun (2004) tentang pertumbuhan pasca-trauma menyoroti bahwa individu yang mampu memperoleh makna positif dari pengalaman traumatis lebih cenderung menunjukkan ketahanan, pertumbuhan pribadi, dan peningkatan kesejahteraan psikologis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline