Lihat ke Halaman Asli

Tukang Nasi Uduk Menjadi Novelis!

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih ingat pertama kali saya bertemu dengan Endang Rukmana, penulis yang bulan ini novel kesepuluhnya diterbitkan. Kalau tidak salah, tempatnya di lantai 2 Gedung IV fakultas kami, FIB UI. Waktu itu perut saya keroncongan, tapi masih ada satu kelas sebelum jam istirahat makan siang. Siapa sangka tukang nasi uduk itu nantinya menjadi novelis! Alhasil, saya panggillah Endang, “Mas.” Endang yang sudah hendak turun tangga bersama “buntelan” nasi uduknya langsung berbalik dan menawari saya (juga teman sekelas yang kebetulan sama-sama terancam punah) barang dagangannya. “Mau beli apa? Ada nasi uduk, nasi goreng, mi goreng…” kata Endang dengan nada dan intonasi khas pedagang—cepat dan mengundang. Saya pun masuk ke dalam kelas untuk menikmati nasi itu. Teman sekelas saya yang lain kira-kira berkata begini pada saya, “Itu kan tadi Mas Endang, Mel. Mas Endang hebat banget lho, berjuang bayar uang kuliah sendiri. Subhanallah…” Endang semester 3 Itu terjadi sekitar setahun yang lalu, semester genap 2005/2006. Saya masih di tingkat pertama sedangkan Endang kedua. Sejak saat itu, saya sering membeli nasi atau snack yang Endang jual dengan niat “membantu teman bayar kuliah”. Semangat juang Endang begitu menyilaukan. Ini anak bakat tajir, begitu batin saya setiap kali melihat Endang. Semula saya mengira Endang akan sukses di bidang bisnis. Makanya saya agak kaget ketika seusai UAS semester itu, Endang menghampiri saya sambil memamerkan (sekaligus membujuk saya untuk membeli) novel perdananya, Sakit ½ Jiwa, yang baru saja diterbitkan. Untunglah waktu itu novel perdana saya juga sudah positif terbit walaupun masih harus menunggu satu bulan lagi. Melihat novel perdana Endang itu, saya jadi tidak iri dan bisa berkata, “Novel saya juga bulan depan terbit.” Ternyata saya hanya bisa sebentar saja merasa begitu. Sakit ½ Jiwa menjadi best-seller sementara novel saya… boro-boro deh. Dalam waktu singkat, Endang juga menerbitkan novel kedua dan ketiganya. Saya jadi iri? Itu sudah pasti. Hanya saja, rasa iri yang satu ini tidak berkonotasi negatif atau sirik, melainkan menjadi dorongan bagi saya untuk terus berkarya. Setiap kali ada perkembangan perihal karir kepenulisannya, Endang pasti menyempatkan diri untuk menceritakannya pada teman-temannya, termasuk saya. Caranya bercerita selalu menggebu-gebu, tapi entah kenapa tidak pernah timbul kesan pamer. Inilah yang membuat saya tidak pernah sirik padanya. Ketika pagi ini saya bertemu Endang untuk mewawancarainya, Endang tampak agak kuyu karena kurang tidur. “Lagi ngejar deadline, Ndang?” tebak saya. Sambil mesem-mesem, Endang berkata bahwa dia baru saja maraton menonton DVD dan hanya sempat tidur sejam sebelum berangkat kuliah. Sebelum wawancara, saya tunggui dia makan brownies dan nasi uduk (beli di kopma FIB UI karena, sejak menerbitkan novel perdananya, Endang berhenti berjualan nasi uduk). Meskipun cerewet dan jauh dari macho, Endang tetaplah cowok. Cowok tidak bisa melakukan lebih dari satu kegiatan—dalam kasus ini, wawancara sekaligus makan—dalam waktu bersamaan. Endang bercerita banyak tentang perjalanan hidupnya yang penuh cobaan dan bagaimana dia berjuang untuk survive, tidak sekadar untuk makan, tapi juga untuk melanjutkan pendidikan. Cerita ini juga akan selalu menjadi dorongan bagi saya, kali ini untuk berjuang menghadapi segala cobaan hidup. Akan tetapi, saya kurang tertarik untuk membahas perjuangan hidup Endang dalam artikel ini. Selain karena cerita ini sudah pernah diangkat dalam media lain, sebagai sesama novelis, saya lebih suka mengulik Endang sebagai novelis. Mewakili Suara Cowok “Gue pengen bikin novel yang cowok banget nih,” kata Endang dengan mantap. Untuk saat ini, misi Endang dalam menulis novel memang mewakili suara cowok. “Cowok kan gagu sebenarnya… gua mewakili cowok untuk berbicara, memperkenalkan tentang dunia cowok, idealisme cowok…” Endang ingin mengembangkan genre Ladlit. Genre Ladlit dianggapnya masih terjajah oleh karakter cewek. Endang sendiri merasakannya betul ketika novel kelimanya, Pahe Telecinta, diedit. Banyak kata-kata khas cowok (nyablak dan cenderung kasar) yang disensor supaya tidak menyinggung perasaan cewek. Padahal, menurut Endang, ini merupakan pembunuhan karakter cowok dalam novelnya karena kekhasan-kekhasan cowok jadi sulit dimunculkan. Cewek sudah punya banyak media sebagai penyalur aspirasinya. Suara hati, idealisme, pola pikir, karakter, dan kekhasan-kekhasan cewek dengan bebas tertuang di dalamnya. Kenapa hal yang sama tidak dapat berlaku bagi cowok? Inilah yang sedang Endang perjuangkan. Membuat Inovasi dalam Sastra Populer Imam Tantowi, seorang sutradara ternama, pernah berkata, “Jadilah kepala, karena kepala bisa makan.” Nampaknya, Endang juga mulai memegang prinsip yang sama. Endang melakukan penyesuaian antara visinya, menjadikan karya-karyanya Sastra Populer yang dapat diterima oleh semua orang, dengan prinsip ini. Motif utama Endang untuk menulis adalah ekonomi. Tidak heran jika sebelum ini Endang menyanggupi apa pun pesanan penerbit, termasuk untuk menggarap novel adaptasi dan Candy Romance yang berjudul Cium Aku Lagi, Plisss! (Endang sampai menggunakan nama samaran karena novel ini “bukan Endang banget”). Ketika ditanyakan apakah dia ingin terus bertahan di sastra populer atau mencoba ke Sastra yang lebih serius, Endang menjawab, “Biarkan wacana itu mengalir, gua nggak ingin meniatkan untuk serius.” Namun, Endang juga tidak mau selalu menjadi ekor. Dia ingin membuat terobosan baru, yaitu inovasi dalam sastra populer itu sendiri. Novel terbaru yang sedang digarapnya bergenre komedi-fantasi, yaitu petualangan bajak laut dengan memanfaatkan latar belakangnya sebagai mahasiswa Program Studi Sejarah. Genre ini memang sudah pernah dicoba untuk diangkat oleh penulis lain, tapi tidak berhasil karena komedinya kurang tergali. Bagaimana caranya supaya genre ini bisa diterima oleh pembaca Indonesia dan laris sehingga bisa masuk ke dalam wacana sastra populer? Ini merupakan tantangan tersendiri bagi Endang. Kita tunggu saja aksi Endang selanjutnya! Melody Violine




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline