iseng buka kompasiana ternyata menemukan pertanyaan menarik, "kenapa harga di bulan ramadan selalu naik meski katanya pasokan atau produksi telah ditambah?". Saya akan mencoba menjawabnya semampu saya bermodalkan pengetahuan mikroekonomi yang masih tersisa dari kuliah 10 tahun lalu hahahaaha
oke...Disni saya akan mengupas bagaimana fenomena kenaikan harga pada periode ramadan/lebaran serta makna apa yang tersirat kepada masyarakat kita.
Berbelanja seakan menjadi seakan kewajiban bagi masyarakat indonesia pada periode ramadan/lebaran seperti pakaian, gadget, perabotan rumah, bahkan sampai kendaraan bermotor. Bukan cuma itu, konsumsi makanan masyarakat kita pun meningkat. Dari yang tidak biasa makan daging menjadi menkonsumsi daging. Pilihan menu-pun bertambah disaat bulan ramadan/lebaran. Belum lagi makanan khusus atau khas disajikan pada periode ramadan/lebaran. Akibatnya permintaan akan barang-barang meningkat.
I. Perubahan Elastisitas Permintaan (Cyclical demand elasticities)
Memang perilaku siklikal diatas meningkatkan permintaan barang/jasa pada periode tertentu. Akan tetapi yang patut diperhatikan adalah bagaimana perubahan elastisitas permintaan pada periode ramadan/lebaran.
Membeli baju muslim misalnya, pada bulan biasa, memiliki baju muslim baru mungkin sesuatu yang tidak dibutuhkan akan tetapi kondisi ini berubah pada periode ramdan/lebaran, baju muslim baru menjadi kewajiban. Hal tersebut pastinya merubah elastisitas permintaan akan baju muslim menjadi lebih inelastis pada periode Ramadan/lebaran. Bahkan menjadi mendekati atau menjadi inelastis sempurna karena telah menjadi kewajiban untuk memilikinya. Pastinya, tidak cuma baju muslim yang mengalami perubahan elastisitas tapi juga barang-barang lainnya.
Nah, dampak perubahan elastisitas inilah yang mempengaruhi perubahan harga dan menjadi “udara” bagi “imperfect market”. Saat permintaan menjadi lebih inelastis, maka perubahan kuantitas sedikit saja akan mempengaruhi harga sangat banyak atau harga akan sangat mudah berubah (peka) terhadap perubahan pasokan. Hal inilah yang mendorong pedagang untuk memilih menaikan harganya daripada menurunkan harga. Karena kenaikan harga akan mengurangi kuantitas penjualan sedikit dibandingkan mengurangi harga yang hanya menambah penjualan yang sedikit. Sehingaa perofit menaikan harga lebih tinggi ketimbang profit menurunkan harga yang hanya mendapat tambahan penjualan yang sedikit.
Artinya, pada saat bulan puasa/lebaran, elastisitas permintaan berubah menjadi lebih inelastis. Hal tersebut mendorong oleh para pedagang untuk melakukan mark-up lebih besar. Dengan kata lain, konsumen (masyarakat) menjadi lebih dirugikan dalam hal ini.
Kemudian yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah, bukankah seharusnya terdapat mekanisme pasar ? Saat harga naik maka produksi akan ditingkatkan sehingga harga kembali ke titik keseimbangan awal ? Apa yang terjadi ?
saya menduga hal ini terjadi karena perubahan struktur pasar sehingga pasar menjadi tak sempurna. Tandanya adalah, seperti yang saya ungkapkan diatas, permintaan inelastis akan menjadi “udara” bagi “imperfect market” . Tanpa adanya permintaan yang lebih inelastis maka “imperfect market” seperti kartel tak akan bertahan lama. Itulah mengapa kartel tembaga mati tetapi kartel minyak bumi bertahan.
II. Pasar tak sempurna (imperfect market)
Tiada manusia yang semurna bahkan Oshi saya Melody JKT48-pun saya akui memiliki ketidaksempurnan. Nah, apalagi pasar ? Hal tersebut akan menjawab pertanyaan kenapa harga tetap naik meskipun pasokan telah ditambah jauh-jauh hari sebelumnya.
Pernakah anda berbelanja baju di Pasar Tanah abang saat menjelang atau saat bulan puasa? coba anda cek harga dari lantai dasar sampai lantai paling atas anda akan menemukan kenaikan harga yang relatif sama.
kenapa tidak ada pedagang yang berani banting harga agar daganganya lebih laku ? selain itu, anda bisa lihat sendiri pasokan baju yang dijual tambah banyak. Tapi kenapa masih saja si uda atau uni maupun engkoh atau cici menjual baju-nya dengan harga lebih mahal dari pada bulan biasa ?
- Tacit Collusion
Sadarkah kita, saat menjelang periode ramadan/lebaran para pedagang dengan kesadaran bersama, dalam alam bawah sadar-nya, menaikan harga dengan sendirinya. Saat kita tanya “pak, kenapa harganya naik”, dengan mudahnya bapak menjawab “karena mau bulan puasa dek, semuanya mahal” .
Dalam mikroekonomi ini disebut “tacit collusion”. Sebuah kolusi yang berasal dari kesadaran bersama atau alam bawah sadar dari para pedagang untuk memasang harga pada tingkat tertentu, tetapi juga ada "tacit collisuon" yang berasal dari price leadership. Dimana hal ini akan berdampak perubahan struktur pasar menjadi oligopoli.
Paul Krugman berpendapat bahwa penyebab “tacit collusion” ini adalah game theory yang dilakukan berulan-ulang. Sehingga para pemain sudah saling memahami pergerakan atau strategi masing masing sehingga dapat berkolusi.
Begitupula para pedagang, mereka sudah saling mengerti satu sama lain dari pengalaman periode-periode ramadan/lebaran sebelumnya. melihat perilaku konsumen saat periode ramadan/lebaran maka para pedagang sudah saling mengerti satu sama lain untuk menaikan harga secara bersama-sama
- Pasar Oligopoli
Bagaimanakah pembetukan harga pada saat oligopoli?
Pertama, Pada kondisi oligopoli penjual tak lagi sebagai price taker tetapi sudah menjadi price maker. Para pedagang memiliki market power lebih untuk menentukan harga dipasar. Dari mana ? seperti contoh “tacit collusion” itu tadi.
Jadi berapa harga dipasar? jawabannya adalah ditentukan oleh pertambahan biaya produksi (marginal cost) dan tambahan profit (marginal revenue) sehingga harga yang ada dipasar lebih tinggi dari harga yang seharusnya. Artinya, pedagang akan memasang harga sehingga keuntungan yang dimilikinya sebesar pasar bersifat monopoli yaitu supernormal profit.
Selain itu, Pada pasar oligpoli harga ditentukan tidak dengan sendirinya tapi tergantung kebijakan harga pesaingnya.
Saat pedagang baju di tanah abang ingin menurunkan harga demi meningkatkan penjualan. Maka ia akan berpikir bahwa pedagang lain akan mengikuti strateginya tersebut sehingga apa yang akan terjadi adalah persaingan meningkat dan harga semakin menurun. Alhasil jika staretgi itu dilakukan maka para pedagang hanya akan mendapatkan untung seadanya atau bahkan cuma bisa balik modal. Oleh karena itulah menurunkan harga bukanlah opsi yang baik bagi para pedagang.
Akan tetapi saat ingin menaikan harga terus-menerus, pada titik tertentu pedagang menghadapi kurva permintaan yang akan lebih inelastis sehingga menaikan pada level tersebut bukan keputusan yang baik karena akan mengurangi jumlah penjualan lebih besar dari keuntunga kenaikan harganya. Hal inilah yang melatarbelakangi atau menyebabkan “price stickiness” artinya pada suatu titik harganya bakal “nyangkut” sehingga harga sulit untuk berubah.
Dimana dampaknya setiap penambahan biaya (produksi) tak akan berpengaruh terhadap berapa jumlah yang pedagang jual sehingga pedagang akan memilih harga yang setinggi mungkin dengan kuantitas penjualan yang sama alias "Collusion price".
Mungkin hal ini menggambarkan fenomena di Tanah Abang.
Selain itu, Asumsi penggunaan sumber daya secara efisien dalam pasar kini tak berlaku lagi karena pasar tidak sempurna. Seperti pedagang lebih memilih untuk menjual lebih sedikit dengan harga yang lebih tinggi dibanding menjual semua stok tapi dengan harga yang jauh lebih murah.
Andai anda seorang pedagang baju yang memiliki stok 1000 pasang. manakah yang anda pilih: menjual barang pada harga Rp 1.000 barang terjual hanya 500 pasang (Profit: Rp 500.000) atau menjaul stok anda 1.000 tapi dengan harga Rp 400 (Profit: Rp 400.000).
Meski anda akhirnya kelebihan stok baju 500, anda pasti menjual 500 pasang saja. Toh anda bisa menjual lagi diluar periode lebaran/ramadan. Ini juga yang menyebabkan fenomena diskon murah setelah periode puasa/lebaran.
Kesimpulan:
Yang menjadi akar masalah dari fenomena kenaikan harga periode ramdan/lebaran adalah dari sisi demand itu sendiri. bagaimana budaya atau perilaku konsumen pada periode tersebut memberikan dorongan bagi para pedagang untuk mendapatkan profit lebih dari normal atau me-mark up-nya lebih besar. mekanisme pasar pada persaingan sempurna tak terjadi. harga cenderung tetap dan tak berubah karena perubahan struktur pasar yang dimotori oleh perilaku konsumen, meski tambahan pasokan/produksi telah dilakukan.
Pembahasan ini juga memberikan makna tersendiri, saat umat islam mengkhianati arti sebenarnya dari bulan puasa, yaitu menahan diri, akhirnya umat islam yang mengalami kerugian besar.
Sifat boros pada periode bulan puasa dimanfaatkan pedagang untuk mengambil supernormal profit serta menjadi “udara” bagi “imperfect market” . Artinya, manfaat dari barang yang mereka bayar (konsumer suprplus) berkurang banyak. Sehingga sifat boros merugikan umat islam itu sendiri.
Intinya adalah akar masalah fenomena kenaikan harga periode ramadan/lebaran adalah kesalahan kita sendiri, masyarakat indonesia, umat islam khususnya. Masih pantaskah kita menyalahkan pemerintah ? tapi pemerintah bukannya lepas tangan begitu saja.
Apa yang harus dilakukan? sesuai anjuran pak ustad, mari kembali memaknai arti ramadan sebenarnya sehingga menjadi konsumer yang rasional. Lalu bagaimana peranan BI? Hal tersebut akan saya lanjutkan halaman lain bersama penjelasan pasar pangan sebagai penyumbang sebagian besar inflasi, khusus untuk oshi saya Melody Nurramdhani Laksani yang seorang sarjana teknik pertanian.
*Lumayan ngisi waktu luang dari pada gw gesrekkk melody jkt48, cuma ngurangin pahal gw cuy hahahaah*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H