Di kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai kegiatan pewarisan yaitu perpindahan harta dari orang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada keturunannya (ahli waris). Ahli waris tidak hanya orang yang sudah dewasa, namun tidak jarang kita menemukan anak di bawah umur menjadi ahli waris. Kita mengetahui bahwa syarat untuk melakukan perbuatan hukum adalah berusia dewasa, yang diatur di dalam beberapa ketentuan hukum sebagai berikut:
- Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menjelaskan bahwa seseorang dianggap sudah dewasa jika sudah berusia 21 tahun atau sudah (pernah) menikah.
- Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menjelaskan bahwa Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
- Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.
- Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Pengurusan penerimaan waris memerlukan tandatangan akta untuk keperluan penerimaan waris seperti pengurusan akta keterangan hak mewaris, akta pencatatan boedel, dan akta pemisahan dan pembagian. Apabila ada anak di bawah umur, lebih amannya kegiatan tersebut dilakukan secara notariil untuk menghindari konflik kepentingan. Anak di bawah umur bisa menandatangani akta, tetapi dalam melakukan perbuatan hukum tersebut didampingi oleh wali, biasa nya dari orang tua yang hidup terlama, orang yang ditunjuk oleh oleh orang tua dalam surat wasiat, atau wali yang ditetapkan oleh pengadilan apabila orang tua dari anak tersebut sudah meninggal dunia. Perwalian tidak hanya untuk anak di bawah umur tapi juga untuk orang yang dalam pengampuan.
Apabila merujuk pada Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penjunjukan, anak di bawah umur yang tidak memilik orang tua, orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, atau ada sebab sehingga orang tua tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka akan dilakukan penunjukkan wali. Untuk menjadi wali seorang anak di bawah umur diatur di dalam Pasal 4, 5, 6 dan 7 PP Nomor 29 Tahun 2019 Tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali bisa dari keluarga anak, saudara anak, orang lain selain keluarga atau saudara, atau badan hukum.
Wali dari keluarga harus memenuhi pesyaratan berupa berkewarganegaraan Indonesia yang berdomisi tetap di Indonesia, berusia minimal 30 (tiga puluh) tahun, memilik kemampuan secara fisik, mental, dan ekonomi, berkelakuan baik, beragama yang sama dengan si anak, mendapat persetujuan dari pasangan apabila sudah menikah, membuat pernyataan tertulis tidak akan melakukan kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah terhadap si anak, mendahulukan keluarga anak derajat terdekat, mendapat persetujuan dari orang tua si anak jika masih ada, diketahui keberadaanya, dan cakap berbuat hukum, serta diutamakan yang memiliki kedekatan dengan si anak.
Wali dari saudara anak harus memenuhi persyaratan berupa berkewarganegaraan Indonesia yang berdomisi tetap di Indonesia, berusia minimal 21 (dua puluh satu) tahun, memilik kemampuan secara fisik, mental, dan ekonomi, berkelakuan baik, beragama yang sama dengan si anak, mendapat persetujuan dari pasangan apabila sudah menikah, membuat pernyataan tertulis tidak akan melakukan kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah terhadap si anak, mendahulukan keluarga anak derajat terdekat, mendapat persetujuan dari orang tua si anak jika masih ada, diketahui keberadaanya, dan cakap berbuat hukum. Dalam penunjukan saudara diutamakan yang memiliki kedekatan dengan anak dan mendapat persetujuan dari anak.
Wali dari orang lain, apabila bukan keluarga dan saudara anak harus memenuhi persyaratan berupa berupa berkewarganegaraan Indonesia yang berdomisi tetap di Indonesia, berusia minimal 30 (tiga puluh) tahun, memilik kemampuan secara fisik, mental, dan ekonomi, berkelakuan baik, beragama yang sama dengan si anak, mendapat persetujuan dari pasangan apabila sudah menikah, membuat pernyataan tertulis tidak akan melakukan kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah terhadap si anak, mendahulukan keluarga anak derajat terdekat, mendapat persetujuan dari orang tua si anak jika masih ada, diketahui keberadaanya, dan cakap berbuat hukum. Dalam penunjukan saudara diutamakan yang memiliki kedekatan dengan anak dan mendapat persetujuan dari anak.
Wali dari badan hukum berupa unit pelaksana teknis kementrian/lembaga, unit pelaksana teknis perangkat daerah, dan lembaga kesejahteraan sosial anak. Lembaga kesejahteraan harus memenuhi syarat berbadan hukum berupa yayasan dan berakredutasi, bersedia menjadi wali yang dinyatakan dalam surat pernyataan, mendapat rekomendasi dari dinas sosial, membuat pernyataan tertulis tidak pernah dan tidak akan melakukan diskrimintas dalam melindungi hak anak, bagi lembaga kesejahteraan sosial anak harus seagama dengan agama yang dianut anak, mendapat persetujuan dari orang tua si anak jika masih ada, diketahui keberadaanya, dan cakap berbuat hukum, tidak boleh membedakan suku, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, bahasa, urutan kelahiran, dan/atau mental anak.
Sumber:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata