Lihat ke Halaman Asli

Kontroversi Pernyataan Kemendikbudristek Mengenai Pendidikan Tinggi Kebutuhan Tersier

Diperbarui: 3 Juni 2024   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inilah.com

Baru-baru ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia telah mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan kontroversi di kalangan akademisi dan masyarakat luas. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia harus lebih berfokus pada pemenuhan kebutuhan tersier. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebutuhan tersier, dan mengapa hal ini menimbulkan polemik?

Dalam konteks pendidikan, kebutuhan tersier merujuk pada keterampilan dan kompetensi yang lebih tinggi, yang tidak hanya mencakup kemampuan akademis dasar, tetapi juga keterampilan lanjutan yang dibutuhkan dalam dunia kerja modern. Ini bisa termasuk kemampuan teknologi informasi, soft skills, dan pengetahuan spesifik yang relevan dengan perkembangan industri saat ini, seperti teknologi informasi, manajemen proyek, dan kreativitas inovatif.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (Kornas JPPI), Ubaid Matraji turut menanggapi, menurut dia, pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi "Kemendikbudristek", Tjitjik Sri Tjahjandarie yang menyebut bahwa Pendidikan Tinggi (PT) merupakan kebutuhan tersier, mampu melukai dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah.

"Meletakan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar. Jika PT adalah kebutuhan tersier, lalu negara lepas tangan soal pembiayaan, bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah?" ujar Ubaid dalam keterangannya, Sabtu (18/5/2024).

"Yang masuk program Wajib Belajar 12 Tahun, yang merupakan kebutuhan primer, apakah pemerintah sudah membiayai?" sambung dia.

Sementara faktanya, lanjut Ubaid, "Pembiayaan hanya dilakukan dengan skema bantuan (BOS), bukan pembiayaan penuh. Yang akibatnya, ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung. Berdasarkan data BPS 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67 %) SMP (6,93 %), dan SMA/SMK (21,61 %)"

Reaksi dari masyarakat Indonesia mengenai pernyataan kontroversi dari kemendikbudristek sangat beragam terutama pertentangan dari mahasiswa di Indonesia yang menyatakan bahwa pernyataan tersebut kurang tepat. Banyak mahasiswa mungkin tidak setuju dengan pernyataan Kementerian Pendidikan,Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang menganggap kuliah sebagai kebutuhan tersier karena beberapa alasan yang mendasar.

Berikut adalah beberapa tanggapan yang mungkin muncul dari mahasiswa yang tidak setuju dengan pandangan tersebut:

  • Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang: Banyak mahasiswa berpendapat bahwa pendidikan tinggi adalah investasi jangka panjang yang krusial untuk masa depan mereka. Dalam pandangan mahasiswa, pendidikan tinggi bukanlah sekedar kebutuhan tersier, tetapi lebih mendekati kebutuhan sekunder karena dampaknya yang signifikan terhadap kualitas hidup dan kesejahteraan.
  • Kebutuhan Pasar Kerja: Mahasiswa sering kali merasa bahwa tanpa pendidikan tinggi, mereka akan sulit bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif. Banyak pekerjaan sekarang mensyaratkan minimal gelar sarjana, sehingga tanpa pendidikan tinggi, peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang baik menjadi sangat terbatas.
  • Perubahan Sosial dan Ekonomi: Di banyak negara, termasuk Indonesia, pendidikan tinggi memainkan peran penting dalam perubahan sosial dan ekonomi. Mahasiswa seringkali melihat diri mereka sebagai agen perubahan yang dapat berkontribusi untuk pembangunan negara. Dengan demikian, mereka menganggap pendidikan tinggi sebagai kebutuhan penting untuk mempersiapkan diri mereka menjadi bagian dari solusi terhadap berbagai tantangan sosial dan ekonomi.
  • Keadilan dan Akses Pendidikan: Beberapa mahasiswa mungkin berargumen bahwa mengkategorikan kuliah sebagai kebutuhan tersier dapat memperburuk ketidakadilan sosial. Mereka merasa bahwa pandangan ini dapat menghalangi akses pendidikan bagi kelompok-kelompok kurang mampu yang mungkin melihat pendidikan tinggi sebagai sesuatu yang tidak terjangkau. Oleh karena itu, mereka menekankan pentingnya memandang pendidikan tinggi sebagai kebutuhan yang lebih mendasar untuk memastikan akses yang lebih luas dan merata.
  • Secara keseluruhan, mahasiswa yang tidak setuju dengan pernyataan Kemendikbudristek mengenai kuliah sebagai kebutuhan tersier cenderung melihat pendidikan tinggi sebagai elemen yang sangat penting dan mendasar untuk perkembangan pribadi, profesional, dan sosial mereka. Mereka menganggap pendidikan tinggi sebagai bagian integral dari persiapan untuk masa depan yang lebih baik, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi masyarakat luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline