Lihat ke Halaman Asli

Selamat Senang dan Tenang Ki Slamet Gundono

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekitar tahun 2001, seorang mahasiswa teknik yang kebetulan aktif juga di komunitas seni Wayang Suket datang ke radio kampus dimana saya aktif di dalam organisasi tersebut. Kebetulan tugas saya waktu itu adalah berelasi dengan pihak luar organisasi. Komunitas Wayang Suket ingin bekerjasama untuk publikasi kegiatan mereka namun sangat disayangkan sekali ini tidak berlanjut karena pada saat itu organisasi radio kampus kami sedang "kisruh" sehingga energi saya waktu itu habis untuk mengurusi hal yang tidak penting. Penyesalan ini ada setelah saya menyadari bahwa komunitas seni Wayang Suket adalah komunitas seni yang menyuarakan penderitaan rakyat, yang dipelopori oleh Slamet Gundono.

Iya namanya Slamet Gundono, seorang seniman lulusan jurusan Theater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Solo, yang lahir di Slawi pada tanggal 19 Juni 1966. Yang kemudian menetap di wilayah perumahan Mojosongo - Jebres Solo. Slamet Gundono menggunakan "suket" (rumput/jerami) sebagai kekuatan simbol dalam mengkonstruksikan kenyataan sebagai urutan gnoseologi sehingga melahirkan makna dan pesan. Suket memang bisa dianggap sebagai simbol yang melambangkan kedekatan dengan kehidupan rakyat jelata yakni sebagai pakan ternak serta menandakan tanaman padi (masuk kategori tanaman rerumputan) yang dekat dengan petani dan menjadi makanan pokok masyarakat kebanyakan. Ditengah krisisnya lahan tempat tumbuh suket liar untuk pakan ternah dan padi yang beralih menjadi tanah properti perumahan dan gedung - gedung bertingkat. Lalu bagaimana dengan kelangsungan hidup rakyat jelata?

Slamet Gundono sangat peka terhadap kondisi ini, kedekatannya dengan rakyat jelata menandakan bahwa dirinya memang seorang seniman sejati yakni tidak hanya peduli pada popularitas yang materialistis tetapi peduli terhadap kondisi realitas keterpurukan rakyat jelata melalui pendekatan seni. Ini terbukti dalam hal kedekatan dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota yang berada di wilayah Jakarta Utara dan Barat yang sering "nanggap" Ki Slamet Gundono tanpa bayaran.

Di tengah krisis seniman dan budayawan yang peduli terhadap rakyat, kenapa kita harus kehilangan lagi seorang seniman dan sekaligus budayawan Slamet Gundono? Kesakitan yang dialaminya sudah tidak menjadi kepeduliannya disaat beliau tampil untuk "dalang". Namun kuasa Tuhan tidak bisa terbantahkan lagi, aliran seni yang dipopulerkan oleh Slamet Gundono jangan sampai pupus. Semoga Slamet Gundono bisa tertawa senang dan tenang bersama Gus Dur, Cak Nur dan Maria Fransisca yang secara tulus memikirkan bIndonesia dan rakyat jelata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline