Lihat ke Halaman Asli

Gerbong Wanita: Nirperspektif

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Gerbong wanita" demikianlah istilah yang digunakan untuk menyebut gerbong pertama dan gerbong terakhir dari KRL jurusan JABODETABEK. Di peron pun diberi tanda khusus dengan tulisan ‘ladies coach' untuk menandai gerbong itu berhenti. "gerbong wanita" ini telah diluncurkan sejak 17 Agustus 2010 yang lalu bertepatan dengan hari ketujuh di bulan ramadhan yang lalu. Sekedar mengingatkan keberadaan gerbong wanita tersebut ada dikarenakan adanya pengaduan kasus pelecehan seksual di KRL yang dilakukan oleh "laki-laki". Namun apakah kebijakan tersebut telah berperspektif perempuan? Saat pertama saya merasakan "gerbong wanita" ini, saya memang merasa nyaman sekali karena tidak terlalu berdesakan dibandingkan dengan gerbong campur lainnya yang penuh sekali dan membuat sesak napas. Kemudian keesokkan harinya saya mencoba gerbong campur namun saya merasa sebagai makhluk asing karena beberapa orang menatap saya. Apakah mereka bertanya di dalam hati "sudah disediakan gerbong wanita kok ada disini" atau mungkin itu perasaan saya sajakah. Lalu beberapa kali saya menggunakan gerbong wanita tersebut untuk berangkat ke tempat aktifitas. Namun beberapa kali juga saya harus "miris" dan menyadari bahwa memang gerbong wanita ini sebenarnya "berkelamin wanita" bukan berperspektif perempuan. Seringkali justru akan menjadi boomerang buat perempuan sendiri karena menganggap semua laki - laki adalah "musuh" seperti hal yang terjadi pada seorang suami yang disuruh pindah ke gerbong campur meskipun dia sedang menemani istrinya yang menggendong balita, begitu juga seorang bapak yang sedang bersama anak dan istrinya yang diminta untuk berpindah oleh petugas kemudian bapak tersebut mengatakan "memang bapak mau bertanggung jawab kalau anak dan istrinya terjadi apa -apa?". Bahkan seorang ibu terpaksa harus membawa barang berat dan berpisah dari anak laki - lakinya yang berusia remaja karena anaknya disuruh keluar dan menyerahkan barang ke ibu yang kemudian akhirnya anaknya pun tertinggal kereta karena kereta terlanjur sudah berjalan. Namun yang sering membuat saya sedih waktu melihat seorang anak kecil mesti berdiri karena tempat duduk penuh uniknya penumpang yang duduk tidak sensitive melihatnya begitupula tadi ketika ada seorang ibu menggendong balita yang terpaksa berdiri. Ini tidak pernah saya temukan ketika gerbong masih bercampur, penumpang laki - laki yang duduk memberikan tempat duduknya ketika melihat anak kecil atau ibu dengan menggendong balita berdiri. Pasti bukan ini yang diinginkan oleh perempuan bahwa gerbong wanita menjadikan perempuan sebagai korban lagi sebab sensitifitas gender dan perspektifnya tidak ada. Sebenarnya sensitifitas gender dan perspektif perempuan tidak hanya diperuntukkan bagi perempuan semata namun kelompok rentanseperti anak dan lansia sebab perspektif perempuan merupakan cara pandang dengan menggunakan kedua mata untuk melihat secara setara dari berbagai sisi (Eva Sundari. 2004). Misalkan dengan memperhatikan kebutuhan khusus ibu hamil di KRL, akses pelayanan transportasi yang mudah diakses bagi penyandang cacat serta anak dan lansia. Apakah ini telah diakomodir oleh PT KAI?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline