Lihat ke Halaman Asli

Pelaris

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1343596121198960519

"Kak, jangan beli di tempat Nek Ijah, ya" pesan Ibu saat saya akan pergi membeli takjil untuk berbuka hari ini. Saya hanya mengangguk dan segera menjalankan motor saya, mengingat waktu berbuka tinggal hitungan menit. Selanjutnya, saya pun lupa bertanya alasan pesan ibu tersebut. Esoknya, saya pulang lebih cepat. Sekitar pukul 17.30 saya sudah duduk santai di ruang tamu, membaca buku kiriman Ci Dian, dengan pintu depan yang sedikit terbuka. "Sudah habis dagangannya, Mba?" terdengar suara Bulek menyapa Mba Ima anak Nek Ijah yang sedang lewat depan rumah kami. "Iya, nih, Bulek. Untung pakai pelarisnya Pakde Jito. Kalau enggak, mana laku. Makin banyak saingan kalau bulan puasa. Apalagi, jualannya di dalam lorong begini." jelas Mba Ima dengan suara yang tidak sungkan. Saya terdiam mendengarnya. Pelaris? Di Bulan Ramadhan pula .... Pakde Jito. Siapa yang tidak mengenal lelaki ini. Saya pribadi, sentimen sekali dengan laki-laki tua satu ini. Bagaimana tidak? Dulu, dukun tua yang akrab dipanggil Jito ini, gencar sekali mempengaruhi nenek saya dengan segala kesyirikannya. Hingga sakit perut pun memanggil Pakde Jito. Ponakan menangis, masuk kupu-kupu dalam rumah, sampai hal-hal kecil semua pakai saran Pakde Jito. Alhamdulillah, sekarang nenek tak lagi mendengar bualan dukun tua itu lagi. Meski, sesekali dukun tua itu masih bertandang ke rumah nenek. Sekedar mengobrol berbasa-basi tanya kabar nenek. Aku? Tak pernah menyapanya. Tak pernah pula membukakan pintu untuknya. "Mba Ima, ya?" tanya ibu yang tiba-tiba sudah berdiri samping saya menuju pintu. Hendak menyiram bunga. Kulihat, ibu tersenyum pada Mba Ima yang masih mengobrol dengan Bulek. "Pantes ramai sekali, ya," kata Bulek. Ditanggapi dengan wajah sumringah Mba Ima. "Tuh, jangan beli di tempat Nek Ijah, dosa." kata Ibu pelan sambil berlalu ke dalam. *** "Kak, nanti kalau mau pulang, tolong beli air kelapa muda, ya" pesan Ibu via telepon. Sambil menunggu antrian air kelapa muda, saya berjalan ke tempat penjual kue kenalan saya. Ibu ini hanya menjual kue saat bulan Ramadhan saja. Banyak jenis kue yang dijual, besar, cantik bentuknya, murah, enak pula. Itulah yang dicari pelanggan, terutama yang seperti saya. :D Pembeli kue Bu Hilda, kenalan saya ini, juga tak pernah sepi  dari pembeli. Apakah beliau pakai pelaris? Insya Allah, absolutely, NO. Saya kenal benar siapa dan bagaimana karakter Bu Hilda dan keluarga. Keluarga Qur'ani, Insya Allah. Tiba di rumah,  seperti biasa, Ibu selalu menyambut saya di pintu. Membantu mengambil air kelapa muda dan kue yang saya bawa pulang. Saya membenarkan posisi parkir motor. Mengikuti beliau masuk ke dalam rumah. "Kak, Alhamdulillah ada pesanan kue lagi untuk buka puasa. Nanti hari Sabtu, ada pesanan nasi kuning. Hari Minggu nya, gado-gado," Kata Ibu. "Alhamdulillah, berapa kotak, Bu?" tanya saya. "300 kotak" jawab Ibu. "Alhamdulillah ...." Alhamdulillah, beberapa tahun belakangan ini, meski tak resmi menyebutnya usaha catering, Ibu banyak menerima pesanan memasak. Gado-gado, nasi kuning, lontong, aneka lauk serta kue basah dan kering. Seperti hari-hari Ramadhan ini dan tahun-tahun lalu. Alhamdulillah, tak sepi pelanggan. Apakah kami pakai pelaris? No ... no ... no .... "Alhamdulillah, berkah Ramadhan .... " sahut Ibu. "Sebenarnya, kalau kita bisa menjaga kepercayaan orang, enggak perlu pakai pelaris, orang akan datang ke tempat kita. Kalau masak, jangan pelit, bumbu jangan  dikurangi, biar masakannya enak. Jangan berantakan menyajikannya, jadi orang selera melihatnya. Buat apa pakai pelaris, dagangan habis, tapi rezekinya enggak halal, Allah enggak suka, enggak ridha." ujar Ibu panjang lebar. Saya hanya mendengarkan dengan takzim. Ah, Ibu ... meski bukan terlahir dengan kondisi Islam. Namun, pemahamannya akan apa yang terlarang, seteguh mungkin dijalani. Barakallah ... semoga terjaga dalam cahaya iman kepadaNya hingga usai usia.

Berkali-kali dalam Ramadhan saya melewati tempat Bu Hilda berjualan kue, tak pernah sepi pula pembelinya. Ah, ternyata tanpa pelaris pun, dagangan bisa ludes dibanjiri pembeli. :)

[caption id="attachment_203518" align="alignright" width="531" caption="Foto : Lee Sarujja"][/caption]

Banda Aceh : Catatan Ramadhan #2




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline