[caption id="" align="aligncenter" width="635" caption="Cuplikan judul artikel di kompas.com"][/caption]
Berawal dari tuturan Jokowi kemudian kalimat ini semakin popular. Tidak hanya ramai di tagar #akurapopo melalui twitter dan facebook, tetapi di media cetak dan elektronik pun kalimat ini sering muncul. Seperti yang telah diketahui aku ra papa merupakan bentuk pemendekan dari aku ora apa-apa artinya ‘aku tidak apa-apa’. Kalimat yang seharusnya lebih tepat ditulis aku ra papa selalu ditulisdengan aku ra popo. Dalam hal ini bahasa Jawa punya kaidah penulisan sendiri.
Kesalahan ini sering sekali saya jumpai, tidak hanya dalam kalimat aku ra papa bahkan di kata lain seperti aja, bisa, iya, juga sering dituliskan ojo, biso, iyo. Bagi yang belum tahu ejaannya, semua kata bahasa Jawa yang berbunyi alofon [ͻ] yang seharusnya jika dalam bahasa tulis lebih tepat ditulis dengan huruf a selalu ditulis dengan huruf o. Dalam bahasa Jawa vokal /ͻ/ yang cara pengucapannya adalah a [ͻ] persis pengucapan vokal o pada kata “bocor” (bahasa Indonesia) disebut a jejeg cara penulisannya ditulis dengan huruf a.
Vokal dalam bahasa Jawa berbeda dengan vokal dalam bahasa Indonesia. Dalam Paramasastra Gagrag Anyar Basa Jawa Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka edisi terbaru tahun 2011, bentuk vokal/alofon bahasa Jawa ada tujuh macam, di antaranya yaitu vokal /a/, vokal /ͻ/, vokal /o/, vokal /i/ yang dibedakan menjadi [i] i swara jejeg dan [I] i swara miring, /u/, vokal /e/ yang dibedakan menjadi [e] e swara jejeg dan [ɛ] e swara miring dan vokal /ə/.
Dalam perkembangannya, kemudian di buku Tata Bahasa Jawa Mutakhir oleh Wedhawati dkk, pengklasifikasian vokal ini dijelaskan lebih rinci dan jelas lagi. Vokal /ͻ/ yang ditulis dengan huruf a misalnya kata amba (lebar), apa (apa), bala (kawan), kaya (seperti), sapa (siapa), dll. Ada juga huruf o dalam bahasa Jawa yang dilafalkan [ͻ] (seperti pada kata “bocor” bahasa Indonesia) dan penulisannya tetap menggunakan huruf o, misalnya pada kata gori (nangka muda), goroh (bohong), kori (pintu gerbang), dan beberapa nama seperti Suharto, Waluyo, dll.
Inilah yang menyebabkan penulisan ejaan vokal /a/, /ͻ/, dan /o/ dalam bahasa Jawa di masyarakat menjadi tertukar dan menjadikannya rancu. Vokal /ͻ/ yang seharusnya ditulis dengan huruf a, ditulis dengan huruf o, demikian sebaliknya.
Penulisan ejaan yang kurang tepat sering sekali saya jumpai. Selain kalimat aku ra papa yang semakin popular, kesalahan yang sama juga saya jumpai di selebaran, baliho, dan di depan warung-warung berlabel Jawa, misalnya bakmi Jowo, laras roso. Harusnya lebih tepat jika ditulis bakmi Jawa dan laras rasa. Di kamus bahasa Jawa tidak akan ditemukan kata roso, opo, dan jowo. Kesalahan yang sama juga terlihat pada penulisan jargon yang diusung oleh Bibit Waluyo tahun kemarin. Mulih ndeso mbangun ndeso. Harusnya lebih tepat ditulis mulih desa mbangun desa. Dan di sini nasal (N-) adalah bentuk imbuhan (mirip dengan awalan me-) jadi penambahan pada kata desa, kurang tepat.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H