Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Warga Daerah Nias barat Tak Lagi Berminat untuk Bertani?

Diperbarui: 23 September 2024   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Persawahan yang dulunya menjadi tulang punggung perekonomian warga di daerah Nias barat kini mulai ditinggalkan. Banyak petani yang beralih ke pekerjaan lain, meninggalkan lahan pertanian yang dulu subur. Penyebab utama perubahan ini beragam, mulai dari berkurangnya minat generasi muda hingga tantangan iklim yang semakin berat.

Salah satu faktor yang signifikan adalah perubahan gaya hidup. Generasi muda lebih memilih mencari pekerjaan di sektor non-pertanian, seperti industri dan jasa, yang dianggap lebih menjanjikan. Selain itu, harga hasil pertanian yang tidak stabil membuat banyak petani merasa tidak puas dengan penghasilan mereka.

Kondisi lingkungan juga berperan. Hujan yang tidak menentu dan serangan hama yang meningkat membuat usaha bertani menjadi semakin sulit. Banyak yang merasa bahwa berinvestasi di pertanian tidak sebanding dengan risiko yang harus dihadapi.

Seiring dengan berkurangnya minat untuk bersawah, masyarakat di daerah Nias barat cenderung beralih ke kegiatan menyadap karet dan berkebun. Menyadap karet kini menjadi pilihan yang lebih menarik, terutama karena permintaan terhadap produk karet masih tinggi di pasar. Selain itu, proses penyadapan yang lebih fleksibel memungkinkan para petani untuk mengatur waktu dan tenaga dengan lebih efisien.

Berkebun juga semakin populer, terutama di kalangan generasi muda yang ingin mencoba bercocok tanam dengan cara yang lebih modern. Tanaman buah dan sayur organik mulai menjadi pilihan, sejalan dengan tren kesehatan yang semakin meningkat. Kegiatan ini tidak hanya memberikan hasil yang menguntungkan, tetapi juga memberikan kepuasan tersendiri bagi masyarakat yang kembali berinteraksi dengan alam.

Salah satu alasan utama mengapa warga daerah Nias barat mulai meninggalkan persawahan adalah karena perawatan padi yang semakin mahal dan membutuhkan tenaga ekstra. Proses bercocok tanam padi memerlukan biaya yang cukup besar untuk membeli pupuk, bibit, dan peralatan pertanian. Selain itu, serangan hama dan penyakit yang sering muncul membuat petani harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk pestisida dan perawatan tambahan.

Tidak hanya biaya, bercocok tanam padi juga memerlukan tenaga fisik yang besar. Mulai dari pengolahan lahan, penanaman, hingga panen, semuanya membutuhkan waktu dan usaha yang cukup melelahkan. Sayangnya, hasil yang didapatkan sering kali tidak sebanding dengan kerja keras yang telah mereka curahkan. Harga jual padi yang tidak stabil dan sering kali rendah membuat banyak petani merasa kecewa dan putus asa.

"Dulu, hasil sawah bisa mencukupi kebutuhan keluarga kami. Sekarang, dengan harga beras yang naik-turun dan biaya produksi yang tinggi, rasanya tidak lagi sepadan," ungkap salah satu petani yang kini beralih menyadap karet.

Namun, pergeseran ini juga menimbulkan tantangan baru. Pertanian tradisional yang kian ditinggalkan dapat mengakibatkan hilangnya pengetahuan dan budaya bercocok tanam yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk menemukan keseimbangan antara mempertahankan warisan pertanian dan mengadopsi kegiatan baru yang lebih menjanjikan.

Dengan semua tantangan tersebut, banyak petani merasa lebih baik mengalihkan perhatian mereka ke sektor lain yang menawarkan penghasilan lebih stabil dengan tenaga dan biaya yang lebih sedikit, seperti menyadap karet atau berkebun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline