Lihat ke Halaman Asli

Beda Teritori, Beda Karakter Pengojek

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13407658231628506661

Seperti kata pepatah, "Lain lubuk lain belalang, lain kolam lain ikannya." Sama halnya dengan karakter kumpulan pengojek yang suka mangkal di area tertentu. Dulu ketika kantor saya masih terletak di daerah Sunter, rute perjalanan saya menuju kantor pasti melewati depan perusahaan Mandom, yang di depannya menjadi tempat mangkal ojek sekaligus bus Kopaja. Para pengojek di sana, saya perhatikan memiliki karakter yang sangat agresif dan berpotensi membahayakan lalu lintas. Bagaimana tidak? Setiap ada penumpang yang baru akan turun dari bus atau mikrolet di daerah sana, para pengojek itu berbondong-bondong menghampiri mikrolet/ bus, berlomba-lomba mendapatkan penumpang lengkap dengan motor mereka. Kerap kali ulah mereka itu justru menambah kemacetan di jalanan yang sudah padat di pagi hari. Selain itu, saya sebagai penumpang mikrolet yang sering mengalami kejadian seperti itu, saya merasa takut kalau-kalau pengojek itu bisa mencederai saya karena motoer mereka dekat sekali dengan mikrolet dan menyulitkan saya berjalan. Saya tidak tahu mengapa kumpulan pengojek di daerah sana sangat agresif, seolah takut tidak kebagian penumpang dan saling berebut mencari perhatian penumpang,  hingga membahayakan lalu lintas seperti itu, bagaimana kalau mereka terserempet atau menyerempet kendaraan/ pejalan kaki lain? Uang memang penting, tapi nyawa diri sendiri dan orang lain sama pentingnya. Kemudian, ketika kantor saya pindah gedung ke daerah Kemayoran, rute perjalanan saya pun berubah. Setiap pagi saya melintasi area Pulomas dan terkadang menggunakan jasa ojek yang mangkal dekat halte Transjakarta Pulomas. Di pangkalan ojek itu, saya menemukan situasi yang berbeda 180 derajat dengan yang saya lihat di Sunter. Bapak-bapak pengojek di sana sangat ramah dan kekeluargaan. Yang membuat saya takjub adalah mereka tidak berlomba siapa duluan mendapatkan pelanggan, malah kadang dioper ke rekannya yang belum "narik". Istilahnya bagi-bagi rejeki dan mereka mengantar penumpang dengan sistem gantian seperti itu. Tarif yang dikenakan ke 1 tempat tujuan yang sama, juga tidak berubah meski pengojek yang mengantar saya berbeda. Mungkin karena prinsip kesamarataan yang mereka usung. Jadi tidak ada pengojek lain yang meminta lebih. Uniknya, walau saya tidak begitu sering naik ojek, terkadang menggunakan angkot juga. Kelompok pengojek disana sudah hafal dengan wajah saya, meski kita tidak berkenalan satu sama lain. Hanya kenal wajah saja. Jadi ketika saya datang dan minta diantar, mereka sudah tahu lokasi kantor saya hehe... Saya senang dengan tipikal pengojek yang di sana. Ramah, bersahabat, dan sangat kekeluargaan antar pengojek. Rata-rata mereka sudah punya pelanggan tetap juga. Yah, begitulah secuil kisah saya dengan ojek di Jakarta. Salam dan semangat pagi Kompasianer!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline