Zaman dahulu, tidak semua orang bisa menulis di ruang publik yang bisa dibaca orang banyak. Untuk bisa dibaca atau dikonsumsi masyarakat luas, maka umumnya harus ditayangkan melalui media massa. Baik surat kabar, majalah, radio maupun televisi.
Media lain untuk bisa mengemukakan pendapat yaitu melalui seni, bisa lagu, sastra atau film.
Proses seseorang untuk menjadi jurnalis atau seniman juga tidak instan. Sehingga, singkatnya, untuk bisa menyuarakan pendapat itu tidak gampang.
Sekarang di zaman media digital dan juga media sosial. Semua bisa berpendapat bebas, bisa menulis apa saja, dibagikan dalam berbagai platform lalu disebarkan berulang kali. Dibaca mentah-mentah tanpa ilmu pengetahuan yang cukup.
Penulisnya pun, seringkali tidak memiliki pengetahuan yang cukup. Fakta yang disajikan benar, tapi tidak lengkap juga tidak disertai pemahaman yang benar, penggiringan opininya bisa salah, akibatnya bisa salah kaprah.
Ini Bahaya!
Framing
Dalam Wikipedia, framing adalah membingkai sebuah peristiwa. Melalui teknik framing, kita dapat menuliskan poin tertentu dari sebuah cerita besar tetapi dengan pemotongan yang tidak tepat. Ini berpotensi mengaburkan kejadian sebenarnya.
Tentu ini sengaja. Bisa supaya terlihat baik, bisa supaya terlihat buruk. Tapi yang pasti, ada motifnya. Agar menarik, bombastis, untuk mengacaukan keadaan, menenangkan keadaan, memperburuk citra seseorang atau mengunggulkan citra seseorang.
Kalau niatnya baik tidak masalah. Kalau hanya agar bombastis pun saya kira tidak masalah.