Tahukah kamu kata pulen? Menurut KBBI kata ini bermakna empuk dan enak yang ditujukan pada nasi. Tapi, apa yang terlintas di pikiranmu ketika kata pulen ini ditujukan untuk seorang wanita? Bernadya, seorang penyanyi wanita merupakan salah satu yang dirugikan. Akhir-akhir ini penyanyi lagu "Satu Bulan" itu dibanjiri komentar yang mengarah pada pelecehan seksual. Penggunaan kata pulen yang sampai viral di X tersebut merupakan majas metafora yang menggambarkan bentuk tubuh wanita. Anehnya komentar ini terlihat tak hanya datang dari para pria, tapi juga sesama wanita. Bagaimana mungkin komentar seperti ini justru dianggap wajar? Apakah ini lagi-lagi sekadar gurauan biasa, ataukah cerminan budaya digital yang semakin permisif terhadap pelecehan?
Bernadya mengungkapkan rasa kecewanya dengan mengambil tindakan menghapus salah satu video yang dihujani komentar buruk. Di sisi lain, masih banyak komentar-komentar mengarah pada sexualizing di video Bernadya yang sedang bernyanyi atau beraktivitas biasa. Mereka fokus menyalahkan dan mengkritik style yang digunakan oleh penyanyi tersebut. "sebenrnya bagus2 aja, cuman otak2 kalian aja" merupakan komentar dari @eternalsuffers yang berpendapat bahwa tidak ada masalah pada cara berpakaian Bernadya melainkan pemikiran netizen. Respon Bernadaya menunjukkan bahwa kasus ini bukan lagi jarang terjadi. Pelecehan digital menjadi salah satu bagian dari budaya digital, terutama bagi perempuan. Media sosial bagai pisau bermata dua, di satu sisi menjanjikan kebebasan berekspresi tapi di sisi lain dapat menjadi tempat terjadinya pelecehan. Apakah kebebasan ini benar-benar tanpa batas, atau ada ambiguitas yang harus kita hadapi?
Kasus yang dialami Bernadya dan mungkin sebagian wanita di luar sana adalah bukti nyata kebebasan digital yang disalahgunakan. Menunjukkan sisi gelap ruang digital yang kerap kali luput dari perhatian. Daniel Miller dan Heather A. Horst membahas fenomena ini dari perspektif Antropologi Digital. Terdapat 6 prinsip dalam perspektif Antropologi Digital, salah satu prinsip yang relevan dengan permasalahan ini adalah ambiguitas kebebasan digital. Prinsip ini menjelaskan kebebasan berekspresi di media sosial yang menjadi ruang terbuka tapi juga memfasilitasi perilaku negatif seperti pelecahan. Menariknya, perspektif dari antropologi digital ini menekankan peluang baru dari teknologi digital untuk memahami dan merefleksikan perilaku manusia. Namun, terdapat penjelasan lebih lanjut terkait ambiguitas digitalisasi ini yang mencipatakan ruang untuk keterbukaan tapi juga diperlukan kontrol dan pembatasan.
Pendekatan ini dapat menjelaskan kasus pelecehan yang didapatkan Bernadya karena pelaku merasa "bebas" tanpa mendapatkan konsekuensi. Banyak orang tanpa ragu meninggalkan jejak komentar tanpa memedulikan etika dan norma sosial dari tulisan mereka. Hal ini didukung dengan kemungkinan akun anonim yang dapat memperkuat motivasi mereka melakukan hal buruk tersebut. Seperti yang disebutkan oleh Miller dan Horst bahwa diperlukan adanya batasan dan kontrol memungkinkan masyarakat sadar dan paham bahwa perilaku mereka merugikan orang lain. Selain itu, penting juga menanamkan pemikiran mengenai kebebasan berkomentar serta edukasi yang didukung aturan legal dari pemerintah. Ketika kebebasan berkomentar dijamin, apakah platform digital juga bertanggungjawab untuk membatasi penyalahgunannya?
Berkaca dari data dalam konteks yang lebih luas, didapatkan bahwa ini bukan hanya permasalahan yang dihadapi oleh Bernadya seorang. Studi menemukan bahwa perempuan lebih sering mendapatkan pelecehan digital sebesar 24.7%. Selain itu, sebesar 16.2% remaja mengalami pelecehan seksual online seumur hidup mereka dan sekitar 10.8% mengalaminya dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Tentu ini merupakan fakta menyedihkan yang datang sebagai dampak negatif kebebasan digital tanpa ada batasan dan kontrol yang memadai. Melihat dari sisi pelaku, sebagian besar adalah remaja yang terlibat dalam interaksi negatif digital baik dengan inisiatif sendiri atau hanya sekadar membalas. Permasalahan iinternal individu seperti hubungan keluarga dan tekanan sosial bisa saja menjadi pemicu mereka. Hal ini didukung dengan akses anonim oleh pelaku sehingga mempermudah mereka menghindari konsekuensi langsung dari tindakan. Walaupun begitu, hal ini tidak membenarkan perilaku negatif yang mereka lakukan secara online. Bernadya dan seluruh korban lainnya merupakan contoh nyata dari pola perilaku negatif masyarakat global. Tanpa peringatan atau konsekuensi nyata, pelecehan digital tidak hanya merugikan korban tetapi juga menormalisasi budaya toxic di media sosial.
Media sosial merupakan pedang bermata dua dalam era modern. Di satu sisi, media sosial menjadi penghubung antar manusia secara global dan menjadi media komunikasi serta media kreatif yang selalu berkembang. Sistemnya dirancang untuk kebebasan pendapat, berbagi opini serta menjalin interaksi. Di sisi lain, kebebasan itu menjadi kebablasan dalam menyampaikan pendapat yang buruk, berbagi opini yang menyinggung orang lain, serta berinteraksi merugikan orang lain. Bernadya berhasil dikenal karena lagu-lagunya masuk ke telinga masyarakat melalui media sosial. Seluruh informasi terkait album lagu, konser, hingga kehidupan pribadi terekspos di media sosial sehingga seluruh masyarakat dapat mengetahuinya. Masyarakat serta penggemar pelantun lagu tersebut dapat menanggapi seluruh informasi di media sosial mulai dari menyukai, berkomentar, hingga meneruskannya ke orang lain. Hal ini dilakukan oleh jutaan orang yang memiliki pola pikir serta kebiasaan yang berbeda-beda sehingga tanggapan atau reaksi yang dihasilkan pun berbeda satu dengan yang lain. Salah satunya adalah tanggapan atas konten Bernadya yang berujung pada pelecehan oleh sejumlah masyarakat. Hanya sedikit yang memahami kata serta kalimat yang ditujukan merupakan pelecehan, sebagian besar justru menormalisasi adanya perilaku buruk ini. Apakah kita sebagai masyarakat terlalu permisif terhadap pelecehan online?
Berangkat dari kasus ini, kita sebagai bagian dari masyarakat harus cerdas dan bijak dalam menanggapi digitalisasi yang semakin berkembang. Hal ini dapat dimulai dari diri sendiri untuk selalu sadar akan jejak digital yang ditinggalkan bisa berdampak buruk bagi orang lain bahkan diri sendiri. Selain itu, penting untuk selalu ingat akan etika dan batasan dalam kebebasan digital ini. Segala pendapat atau opini yang dibuat harus memperhatikan norma-norma sosial yang ada. Apabila sudah dapat mengatur dan membatasi diri, maka selanjutnya dapat mengingatkan serta mengedukasi pelaku secara online. Hal ini memberikan mereka kesadaran jika ada orang lain yang mengawasi dan memberikan teguran. Di samping itu, seharusnya pemerintah harus menegakkan hukum terhadap pelaku. Bisa dimulai dengan adanya moderasi bersama platform digital sehingga komentar atau segala perilaku kekerasan dapat dikontrol dan dicegah dengan lebih baik.
Reference
Ybarra, Michele L., and Kimberly J. Mitchell. 2007. "Prevalence and Frequency of Internet Harassment Instigation: Implications for Adolescent Health." Journal of Adolescent Health 41 (2): 189--95. https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2007.03.005.
"Cyber Stalking: An Analysis of Online Harassment and Intimidation." n.d. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/241843583_Cyber_stalking_An_Analysis_of_Online_Harassment_and_Intimidation.