Sebuah artikel di majalah Tempo pada tanggal 6 Febuari 2011 yang ditulis oleh Goenawan Mohamad membahas mengenai suatu topik yang menarik. Beliau membahas mengenai sebuah fenomena yang hingga kini masih ramai dibicarakan orang, dan bahkan tak sedikit yang takut mendengarnya maupun membicarakannya: alien.
Dulu, ada sebuah film “kuno” yang dibuat pada tahun 1936 dan ditonton oleh kakek-nenek serta ayah-ibu kita. Film tersebut mengisahkan tentang petualangan si Flash, seorang jagoan terbang beserta “istri” dan “ayah”-nya. Goenawan Mohamad berkisah akan pengalamannya menonton film tersebut dalam gedung berdinding seng di kotanya dan anak-anak kampung dengan antusias akan kembali mengisahkan petualangan si Flash.
Begitu dekatnya film ini dalam imajinasi orang Indonesia hingga tanpa kita sadari tempat dan waktulah yang membentuk pandangan kita mengenai dunia di luar.Imajinasi tersebut datang dengan latar dari kampung tradisional, dimana tokoh cerita berelasi sebagai keluarga (ayah, istri). Kisah Flash adalah suatu kisah yang tak jauh berbeda dan mendasar dalam benak para anak kampung tersebut. Jadi saat itu kita cenderung lebih menyukai film-film yang berkaitan tentang manusia; antroposentrisme. Segala sesuatu tentang manusia, baik geografi dan sejarah manusia adalah pusat; dan pada Era Flash Gordon inilah mereka merupakan satu-satunya hal yang kita percayai sebagai paradigma.
Akan tetapi, 40 tahun kemudian pandangan ini berubah seluruhnya. Melalui Close Encounters of the Third Kind, Steven Spielberg menandakan bahwa antroposentrisme tersebut telah ditinggalkan. Antroposentrisme tak lagi menampilkan sebuah epik. Ia tak menampilkan seorang lulusan Yale berambut pirang yang melawan si “asing” jahat yang berkulit kuning, melainkan mendasarkan ceritanya pada teori pakar UFO Allen Hynek—seorang astrofisikawan dari Northwestern University—yang menyebut makhluk lain tersebut animate being.
Close Encounters of the Third Kind merupakan gema pada zamannya. Dibuat dalam masa Perang Vietnam, film ini menyatakan kemuakkan dan kemarahan pada keyakinan, narsisme, serta paranoia Amerika. Tak ada lagi motif masa Flash Gordon, bahkan Spielberg menulis suatu kalimat tanpa kecemasan: “We are not alone”.
Menurut Goenawan Mohamad, kalimat Spielberg tersebut menarik mengingat banyak orang yang telah dirongrong kecemasan setelah bertahun-tahun kepada alien (baik dalam arti E.T maupun orang luar). “Tampaknya kesadaran ‘kita tidak sendirian’ selalu diinterupsi dengan keras oleh rasa waswas yang menganggap egosentrisme sebagai kedaulatan.”, Kata Goenawan. Sesungguhnya sejak zaman Kopernikus, manusia telah menyadari bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta melainkan terletak di antara galaksi-galaksi lain.
400 tahun kemudian, Nietzche melukiskan ini dengan perbandingan yang dramatis. Sejarah dunia yang berabad-abad itu sebenarnya cuma satu menit saja dalm usia alam semesta dan bumi hanya satu bintang nun jauh di pojok bentangan yang tanpa batas itu. Meskipun demikian, di bintang itu dengancongkak manusia menemukan “kebenaran” yang abadi. Padahal menit itu akan lewat, bintang itu membeku, dan hewan congkak itu akan musnah.
Saya cukup setuju dengan beliau. Memang, kita sering takut pada “makhluk asing”. Alasannya pun tak jauh berbeda, yakni ketakutan akan invasi dan menguasai kita bukan? Seperti yang dikatakan Hawking—seorang fisikawan teoretis— tentang alien: “Apabila alien mengunjungi kita, hasilnya kemungkinan besar akan seperti Colombus mendarat di Amerika, dimana faktanya tidak berhasil baik untuk para Amerika Latin.” Pernyataan ini menguatkan argumen Goenawan, bahwa manusia seringkali takut untuk tidak menjadi pusat alam semesta lagi dan “dikuasai” oleh hal lain.
Meskipun demikian, apakah ketakutan akan dikuasai merupakan satu-satunya alasan? Seperti tadi, saya juga akan mengutip perkataan Hawking: “Alien tidak hanya ada di planet-planet, tapi mungkin juga di tempat lain seperti bintang atau bahkan melayang di angkasa luar dan suatu hari mungkin dapat mengancam bumi.” Jadi ketakutan yang satu ini didasarkan pada ketidaktahuan.
Ya, kita sebagai manusia paling takut akan sesuatu yang bernama “ketidakpastian” atau “ketidaktahuan”. Pada dasarnya kita akan takut pada hal yang bersifat melewati batas pengetahuan dan rasionalitas yang ada pada kita saat ini. Contoh terdekat kita adalah kematian. Siapa yang tidak takut akan kematian? Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi pada diri kita setelah kita meninggal. Apa yang akan kita lihat saat pertama kali membuka mata? Dimana kita akan berada? Semua misteri itu membuat kita takut. Dulu, saat saya masih kecil, saya dan sepupu saya sering bermain uji nyali. Tantangannya dimulai ketika kami dikurung di toilet yang gelap selama satu menit. Biasanya saya tahan, tapi sepupu saya terlalu takut hingga ia akhirnya menangis. Suatu hal yang menarik, kenapa manusia takut pada gelap?
Jawabannya saya temukan setelah saya mencapai bangku SMP. Karena manusia tidak dapat melihat dengan jelas akan apapun saat gelap. Ketidakmampuan sepupu saya dalam melihat segala sesuatu di sekelilingnya membuatnya takut akan adanya hal-hal yang mungkin akan menyakitinya di dalam kegelapan.
Tapi memang seperti kutipan Nietzsche di akhir, manusia yang sudah menyadari dirinya bukan pusat alam semesta dan lemah dengan banyak ketakutan, tetap mencongkakkan dirinya ketika mengklaim telah menemukan “kebenaran” abadi. Dunia dan isinya akan segera berlalu. Sesungguhnya, apalah manusia dibanding alam semesta yang besar ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H