Lihat ke Halaman Asli

Melinda Arta Reza Putri

Saya adalah Mahasiswa S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga

Penggunaan Gadget Dapat Menyebabkan Penyakit Obesitas Muncul dan Memiliki Risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Diperbarui: 8 Juni 2022   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kemajuan teknologi digital yang semakin berkembang memiliki dampak positif dan negatif pada seluruh penduduk di dunia. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Telekomunikasi Indonesia 2020 memperlihatkan bahwa perkembangan teknologi paling pesat terlihat pada penggunaan internet dalam rumah tangga sebesar 78,18%. Selain itu, penduduk yang menggunakan internet juga memiliki peningkatan selama kurun waktu 2016-2020 dengan persentase mengakses internet pada tahun 2016 sekitar 25,37% menjadi 53,73% pada tahun 2020. Mudahnya akses teknologi dan informasi membuat masyarakat tidak perlu membutuhkan usaha yang berlebih dalam menemukan sesuatu yang diinginkan. Hal tersebut membuat penduduk di Indonesia mengalami kasus peningkatan pada obesitas karena rendahnya aktivitas fisik dan latihan fisik. Maka tidak disangka bahwa penggunaan teknologi yang berlebih ternyata bukan hanya membuat kerusakan bagi mata tetapi juga bisa memunculkan penyakit lainnya seperti obesitas. Kurangnya kesadaran dari penduduk di Indonesia dan penggunaan gadget yang berlebihan juga memiliki dampak yang buruk terhadap penyakit obesitas terutama pada gangguan pernapasan.

Obesitas merupakan masalah gizi yang disebabkan oleh penumpukan lemak berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energi (energy mistake) dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama. Obesitas dapat terjadi pada semua kalangan usia, kondisi ini dapat terjadi oleh laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, obesitas banyak terjadi pada usia remaja dan dewasa yang disebabkan karena gaya hidup dan pola makan dari tradisional ke pola makan praktis atau siap saji yang dapat menimbulkan gizi tidak seimbang. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2013, secara nasional masalah gemuk pada anak usia 5-12 tahun masih tinggi, yakni 18,8%. Sedangkan prevalensi gemuk pada remaja usia 13-15 tahun sebesar 10,8%. Hal ini bisa diartikan bahwa angka prevalensi obesitas setiap tahunnya meningkat. Seseorang yang mengalami obesitas bisa dilihat apabila Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu ukuran yang diperoleh melalui hasil pembagian berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter lebih dari 25 kg/m2.

Penyebab dari obesitas dibagi menjadi tiga berdasarkan faktor genetik, lingkungan dan obat-obatan.  Pada faktor genetik bisa berasal dari orang tua yang memiliki penyakit obesitas, maka peluang anak yang dilahirkan menjadi obesitas sebesar 40-50% dan apabila kedua orang tuanya menderita penyakit obesitas maka peluang faktor genetik menjadi 70-80%. Selanjutnya, untuk faktor lingkungan dipengaruhi pola asupan makanan dan juga pola aktivitas fisik. Apabila pola asupan makanan yang berlebihan seperti jenis makanan yang memiliki jumlah energi tinggi, misalnya gula dan makanan yang kurang mengandung serat akan menyebabkan ketidakseimbangan energi pada tubuh. Pola aktivitas fisik yang tidak teratur juga akan menyebabkan energi yang dikeluarkan tidak maksimal sehingga meningkatkan risiko obesitas. Selain itu, terdapat faktor obat-obatan karena apabila seseorang mengonsumsi obat-obatan yang mengandung steroid dan digunakan dalam jangka waktu yang lama untuk terapi asma, anti depresan, osteoartritis dan alergi dapat menyebabkan nafsu makan akan meningkat sehingga akan memiliki risiko obesitas.

Obesitas selain menyebabkan meningkatnya angka kesakitan dan kematian juga bisa meningkatkan risiko timbulnya berbagai macam penyakit seperti aterosklerosis, gangguan kardiovaskuler, hipertensi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Obstructive Sleep Apnea (OSA) terjadi saat penyempitan jalan nafas akibat penimbunan lemak yang berlebihan sehingga terjadi disfungsi di bawah diafragma dan di dalam dinding dada yang bisa menekan paru-paru untuk mengganggu ventilasi pada leher dan lidah serta menurunkan diameter saluran nafas yang merupakan predisposisi terjadinya penutupan prematur saat jaringan otot relaksasi, sehingga menimbulkan gangguan pernapasan dan sesak nafas pada saat tidur. Seseorang dengan Obstructive Sleep Apnea (OSA) akan sering terbangun di malam hari, sehingga tidak mendapatkan kualitas tidur yang baik. Dalam menurunkan Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang terjadi pada orang yang mengalami obesitas dapat dilakukan dengan penanganan bedah dan non bedah. Penanganan bedah dilakukan dengan pembedahan hidung melalui bedah plastik untuk platinum, uvula, dan faring. Penanganan non bedah bisa dilakukan dengan terapi akupresur atau Continuous Positive Airway Pressure (CPAP). Dengan demikian, penanganan tersebut bisa untuk menurunkan risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA).

Upaya Pencegahan Obesitas

Dalam upaya untuk mencegah obesitas bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya sebagai berikut :

  • Melakukan aktivitas fisik seperti berolahraga minimal 5 kali dalam seminggu dengan durasi selama 30 menit.

  • Memperbaiki pola makanan dan menghindari makanan yang mengandung tinggi gula dan lemak.

  •  Istirahat yang cukup agar tubuh menjadi lebih sehat.

  • Membatasi aktivitas berlebihan seperti menonton televisi, bermain games dan sebagainya.

Hubungan obesitas dengan risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA) harus dicegah sejak dini dengan menerapkan pola makan yang sesuai dengan gizi seimbang dan rutin untuk melakukan olahraga. Pada orang yang mengalami obesitas dapat berisiko terkena Obstructive Sleep Apnea (OSA). Obesitas bisa dikatakan sebagai penyakit yang tidak dapat diremehkan. Maka upaya preventif untuk menghindari penyakit obesitas sangat penting untuk dilakukan. Adanya kesadaran pada setiap individu untuk selalu menjaga kesehatan diri sendiri harus diberikan pemahaman sejak dini agar mengurangi risiko terjadinya obesitas. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi dan edukasi mengenai dampak dan penyebab dari obesitas kepada masyarakat agar mereka dapat memahami dan mencegah risiko penyakit tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline