"Once you learn to read, you will be forever free." --Frederick Douglass (Seorang reformis sosial Amerika Serikat, orator, penulis dan negarawan).
Angka buta aksara di Papua adalah yang tertinggi di Indonesia, mencapai 21,9%.
"Lebih dari 800.000 atau hampir satu juta penduduk dari 3,7 juta total penduduk di Papua masih tergolong buta aksara", ujar anggota Komisi V DPRP, Natan Pahabol dilansir dari situs dpr-papua.go.id.
Angka buta aksara di Papua jauh lebih tinggi dibandingkan angka buta aksara secara nasional yang hanya 1,56% berdasarkan Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2021.
Kesenjangan ini membuat seolah-olah wilayah Timur Indonesia berada di dimensi dan waktu yang berbeda.
Ketika zaman sudah berkembang sedemikian pesat dengan teknologi AI (artificial intelligence) yang bermunculan. Ketika kita sudah dituntut untuk bersaing bukan hanya dengan sesama manusia tetapi juga dengan robot.
Namun, saudara-saudara kita di Papua masih tertinggal dengan buta aksara. Bukan cuma anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Masih banyak di antara mereka yang masih belum bisa membaca dan menulis. Menyebabkan mereka tidak mampu untuk bersaing dengan sumber daya manusia lainnya dan terpaksa tergerus oleh arus globalisasi.
Kendala terhadap akses pendidikan, mulai dari terbatasnya jumlah fasilitas pendidikan, kualitas fasilitas pendidikan yang tidak memadai, hingga kurangnya tenaga pendidik profesional.
Kemudian semakin diperburuk dengan standar pendidikan di Papua yang mementingkan kuantitas ketimbang kualitas.
Jika terus dibiarkan, bagaimana dengan nasib dan masa depan generasi muda kita? Padahal literasi adalah suatu hal yang esensial dalam keseharian setiap individu. Sedangkan pendidikan adalah hak fundamental yang dimiliki setiap individu.