Lihat ke Halaman Asli

Melia Fitriani

guru, penulis, dan editor

Sindrom I Hate Tuesday

Diperbarui: 2 Juli 2020   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku selalu benci hari Selasa. Suram. Jika orang-orang sering merasa suram di hari Senin, untukku Selasa lebih suram. Sesuram langit kelabu ketika hujan. Bahkan, mendung hitam kadang lebih disukai daripada kelabu. Mengapa? Karena awan hitam selalu menumpahkan hujan dengan lebat tapi cepat reda. Tak seperti awan kelabu yang memberi hujan gerimis, lalu tak tahu kapan ia usai. Begitulah hari Selasa buatku.

Sudah beberapa bulan ini, mama terlibat hutang pada beberapa tempat pinjaman dengan bunga tinggi. Entah kenapa, mereka, penagih hutang itu, semuanya menyukai hari Selasa untuk datang ke rumah kami. Jika jarum jam sudah menunjukkan angka sepuluh pagi, saat itulah kami harus menutup semua pintu dan jendela. Mereka akan datang bergiliran mulai pukul sepuluh lebih tiga puluh di pagi hari sampai pukul tiga sore. Otomatis setiap Selasa kami selalu bersembunyi di dalam rumah kontrakan selama seharian. Entah sampai kapan. Hal ini memicu munculnya sindrom I hate Tuesday. Mengingat hari Selasa saja sudah menggigil tubuhku.

Mama memang meminjam uang untuk membangun usaha berjualan sayur dan bahan makanan berkeliling kampung. Tapi seperti pada umumnya, ada beberapa pelanggannya yang berhutang. Awalnya hanya satu dua orang. Mama masih bisa menutupnya dengan keuntungan hasil jualan. Tapi ketika hutang itu semakin menumpuk, ketika jumlah pelanggan yang berhutang juga makin bertambah, bukan hanya untung yang kabur, bahkan uang modal pun tidak kembali. Jadilah mama meminjam uang lagi di tempat pinjaman yang lain lagi, dengan harapan bisa menutupi kekurangan sebelumnya.

Sayangnya, semakin banyak dagangan mama, orang yang berhutang juga semakin banyak. Mama sendiri bukan orang yang tega jika melihat orang lain kesulitan. Jadilah kami seperti ini, terjerumus dalam lubang hutang karena kegagalan dalam usaha. Sementara kami mengunci diri setiap hari Selasa, di manakah mereka yang dulu rajin kemari untuk berhutang bahan makanan?

"Bahkan mereka tidak ada yang datang sekadar membayar hutang mereka yang dulu," keluh mama. Beberapa hari terakhir ini, dia lebih sering duduk di kursi dekat jendela, dengan wajah menghadap ke jalanan depan rumah tapi pandangannya menerawang jauh.

Melihatnya seperti itu, sungguh menjadikan siksaan tersendiri buatku. Tak tega rasanya melihat wanita yang kuanggap pahlawan sejak kecil itu terpuruk karena hutang. Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Ah... kenapa bahkan aku pun tak sanggup berjuang untuk mama?

"Ma, kalau mama mengizinkan, aku bisa berhenti sekolah dan mencari kerja mulai sekarang. Dengan begitu, kita bisa membayar hutang-hutang yang sudah menumpuk ini."

Mama menggeleng. "Tidak, Nduk. Kamu harus tetap sekolah. Sayang 'kan, tinggal beberapa bulan lagi kamu sudah lulus SMA."

"Tapi kondisi kita seperti ini, Ma."

"Tidak apa-apa, Nduk. Yakinlah, Tuhan tidak akan memberikan ujian yang melampaui kekuatan hamba-Nya. Kamu harus berjuang juga untuk ujian akhirmu di SMA." Sejenak berhenti berkata, Mama berusaha tersenyum padaku. "Kamu tahu, El? Dalam kondisi apapun, akan selalu ada jalan untuk menggapai cita-cita. Yakinlah!"

Aku mencoba tersenyum meski sebenarnya menangis dalam hati. Ya, selama ini yang bisa membuat kami bertahan hanyalah keyakinan akan hari esok yang lebih baik. Bahkan ketika dalam setiap harinya kami harus berpuasa menahan lapar tanpa tahu kapan akan berbuka karena memang tak ada sedikit pun makanan, kami masih tetap bertahan. Keyakinan terhadap kuasa Tuhan sajalah kini yang membuat kami bisa tetap hidup sampai saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline