Lihat ke Halaman Asli

Melia Fitriani

guru, penulis, dan editor

Rawon Tiga Juta

Diperbarui: 17 November 2019   07:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tempo hari, ada seorang sahabat berkunjung ke rumah. Seperti kebiasaan pada umumnya, kami berdua pun mengobrol dan menceritakan pengalaman masing-masing.

Ada satu pengalaman menarik yang sempat membuat saya tidak bisa menahan tawa, yaitu ketika dia menceritakan pengalamannya saat bepergian.

Ketika itu, sahabat saya, sebut saja Rima, hendak bepergian karena urusan bisnis ke ibukota negara. Dia berangkat berdua dengan rekan kerjanya. Ketika sampai di bandara, masih ada waktu beberapa menit sebelum jadwal keberangkatan pesawat. Rima duduk manis menunggu. Namun tidak demikian dengan rekan kerjanya. Mungkin karena lapar yang teramat sangat, dia mengajak Rima untuk menuju ke warung terdekat dan membeli rawon. Rima awalnya menolak, tapi karena tidak tega dengan rekan kerjanya tersebut, akhirnya berangkatlah mereka berdua menuju warung tersebut.

Usai makan rawon, mereka pun kembali ke bandara. Yang terjadi selanjutnya tentu bisa ditebak. Pesawat telah berangkat sepuluh menit yang lalu. Mereka ketinggalan pesawat! Karena pentingnya urusan bisnis yang harus mereka datangi, akhirnya mereka pun membeli tiket baru untuk penerbangan berikutnya.

Rima pun hanya bisa geleng-geleng kepala. "Baru kali ini saya merasakan makan rawon seharga tiga juta rupiah," katanya.

Saya tergelak mendengarnya. "Apa dia tidak tahu kalau sebentar lagi pesawat sudah mau lepas landas?"

"Sudah," jawabnya. "Saya sudah bilang kalau sebentar lagi pesawatnya datang. Tapi entahlah, mungkin dikira jadwal pesawat bisa molor ya?"

Lagi-lagi, saya tertawa. "Mungkin dikira, pesawat juga hobi ngetem berjam-jam seperti angkot ya, Rim?"

Rima hanya mengangkat bahu, masih kesal dengan pengalamannya naik pesawat terbang.

"Begitulah saat budaya molor sudah memengaruhi hidup kita," ucapnya kemudian. "Karena terbiasa tidak disiplin waktu, akhirnya semua berantakan. Yang ada hanya rugi waktu, rugi biaya, dan rugi tenaga."

Aku mengangguk mengiyakan. Disipin memang menjadi hal yang sederhana tapi sangat sulit dibiasakan jika tidak dilatih sejak dini. Untuk menumbuhkan kebiasaan disiplin pada anak, perlu adanya kerjasama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat sekitar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline