Lihat ke Halaman Asli

Meliana Chasanah

Islamic Writer

Kenaikan PPN Melejit, Rakyat Menjerit

Diperbarui: 16 April 2022   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Image : Pajak (Harianterbit.com)

Oleh : Meliana Chasanah


Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% per 1/4/2022. Pemerintah mengklaim hal tersebut dapat menyelamatkan keuangan negara.  Di saat yang bersamaan, pengusaha dan konsumen juga bersuara.  Masing-masing pihak mempunyai kepentingan dan rasionalitasnya sendiri.

Sudah menjadi ciri khasnya sistem demokrasi yang menjalankan ekonomi negara dengan ditopang oleh utang dan pajak. Saat negara tidak mampu menambah utang, pada saat itu pula mengambil kebijakan menaikkan tarif PPN. Meskipun dengan dalih menciptakan rezim pajak yang adil dan kuat.

Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan, "Memangnya kita butuh pajak yang kuat untuk nyusahin rakyat? Enggak, karena pajak itu untuk membangun rakyar juga, mulai bangun sekolah, rumah sakit, infrastruktur, bahkan listrik, LPG, itu semuanya ada elemen subsidinya." Hal itu disampaikannya saat Economy Outlook 2022 CNBC Indonesia. (Gelora, 22/3/2022)
.
Begitu kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan keuangan negara yang kian mengkhawatirkan. Menaikkan tarif PPN menjadi andalan yang tidak bisa ditunda lagi. Kebijakan ini berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP) yang berlaku mulai dari 1?4/2022.

Menaikkan PPN dianggap mampu untuk menyehatkan eknomi negara, tetapi kenyataannya menambah beban rakyat. Hal ini tentu sangat menyayat hati rakyat.  Apatah lagi diketahui ada berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan rasionalitas di balik kenaikan tarif PPN. Antara kepentingan pemerintah dan rakyat sering menimbulkan kontradiktif.

Direktur Eksekitif Pratama-Kreston Taz Research Institue (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan bahwa menaikkan tarif PPN memunculkan situasi dilematis. Jika tarif PPN naik, beban pajak bagi masyarakat akan bertambah meski penerimaan negara dapat meningkat. Jika tarif PPN tetap, beban bagi rakyat masih sama, sedangkan kondisi keuangan negara dapat semakin mengkhawatirkan karena utang terus bertambah. (kontan.co.id, 21/5/2021)

Kenaikan tarif PPN akan menurunkan omset perjualan. Meski begitu, pemerintah membutuhkan pajak selain utang sebagai alternatif sumber pembiayaan negara. Maka, menaikkan tarif PPN untuk meningkatkan penerimaan negara memang hal yang logis.

Di tengah kesulitan rakyat menjangkau harga minyak goreng dan BBM, pada saat penjabat terkait mengatakan biaya pembangunan IKN bisa berasal dari masyarakat melalui crowd funding. Menkeu dengan ringan mengatakan menaikkan tarif PPN bukan untuk menyusahkan rakyat. Empati seakan bukan dari sifat para pemangku kekuasaan dalam demokrasi.

Perusahaan besar mendapatkan keringan pajak dari pemerintah. Bahkan diberikan banyak fasilitas, saat satunya perusahaan smelter Cina di Indonesia tidak perlu membayar pajak. Situasi ini berbanding terbalik dengan kebijakan PPN, pajak hanya dibebankan kepada masyarakat luas.

Faisal Basri selaku Ekonom menilai keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif PPN sangat memaksakan. Ia pun meragukan keberpihakan pemerintah yang seakan-akan membuat kebijakan untuk masyarakat Cina bukan rakyat Indonesia. Tarif PPN dinaikkan untuk dibebankan kepada rakyat. Sedangkan perusahaan Cina mendapat fasilitas royalti nol persen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline