A. (Polemik Konflik LCS)
Jika kita berpeggang pada hukum laut internasional UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa batas laut teritorial (Teritorial Sea), batas landas kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) merupakan hal mutlak dimana suatu negara yang berdaulat mampu memanfaatkan sumber daya alam dan kekayaan alamnya. Kemudian dilihat dari hak maritim di Laut China Selatan (LCS) Indonesia pun mempunyai batas dasar laut yang jelas antara Vietnam pada tahun 2003 dan Malaysia pada tahun 1969 namun yang menjadi problem kita hal tesebut pada ZEE maka timbullah titik pertemuan pengklaiman antar negara.
Berbeda jauh dengan negara China yang secara sepihak mengeluarkan peta wilayah pada tahun 1947 sehingganya ia mengklaim paling tidak 90% dari Laut China Selatan (LCS) termasuk kepulauan natuna utara. Hal ini tentu memicu protes dari beberapa negara tetangga seperti india, Filipina, Malaysia, Taiwan, Vietnam dan Brunei karena tidak sesuai dengan dasar hukum yang mana China pada lahirnya hukum tersebut bersepakat dan meratifikasikan. Maka timbullah pertanyaannya ada apa dengan Laut China Selatan (LCS) dan apa dampaknya bagi kedaulatan indonesia dalam pengamatan sosial politik ?
B. (Harta Karun yang diperebutkan)
Perselisihan antara China dengan negara terkait bukan hal yang baru bahkan banyak isu mengaitkan wilayah yang disengketakan dengan adanya kekayaan alam termasuk cadangan migas, gas alam, minyak, emas, logam dan komoditas perikanan terbesar di dunia dan masih banyak lagi. Jadi tidak heran apabila mereka memperkuat pertahanan militer dengan melakukan ilustrasi operasi intelijen serta pelatihan tempur militer hingga membagun pangkalan militer udara dan laut pada Zona Kontinen.
Butuh kurang lebih setengah abad kiranya perjalanan negara ini menjadi negara dengan kekuatan ekonomi besar dunia. Pendekatan demi pendekatan pun bermuculan dikalangan akademisi lokal maupun internasional yang sedikitnya memiliki indikator penuh terhadap instrument kali ini semisal Belt And Road Intiative (BRI), Global Maritime Fulcrum (GMF) dan Foreign Investasi (FI) yang menjadi momok menakutkan di benua Asia. Keterkaitan term tersebut nyatanya menjadi tonggak penting untuk memberikan pengaruh china terhadap hubungan politik perdagangan antara negara kawasan dan yang tidak kalah pentingnya lagi akan adanya investasi yang menyangkut pengunaan mata uang yuan. Alih-alih hal tersebut menuai kritikan tajam dikalangan cendikiawan Indonesia dengan menyebutkannya dengan sebutan debt-trap diplomacy yang berujung kepada ancaman kedaulatan suatu Negara.
C. (Dampak dan solusi konflik LCS)
Menjemput satu istilah yang diperkenalkan oleh seorang matematikawan sekaligus pendiri teori Chaos Modern atau lebih dikenal dengan konsep Butterfly Effect. Didalam teori tersebut Edward Norton Lorenz mengungkapkan bahwa setiap hal peristiwa merupakan hasil dari sebuah sebab yangsaling ketergantungan. Apabila diamati Belt And Road Intiative (BRI), Global Maritime Fulcrum (GMF) dan Foreign Investasi (FI) ketiga proporsi ini mampu memberikan dampak serius bagi ancaman besar dunia khususnya Indonesia layaknya contagion effect jika komponen bangsa (institusi politik, lembaga politik, pemerintah pusat/ daerah, lembaga pendidikan dan masyarakat) tidak bersinergi dan tidak berkomitmen secara bijak.
Ancaman konflik kedaulatan dibidang sosio-ekonomi dapat menjadi bahan evaluasi dan antisipasi bagi semua pihak jika indikator semisal, masuknya pekerja asing yang notabane keterampilannya tidak istimewa, melemahnya mata uang rupiah, inflasi, tingginya hutang luar negeri dan ketergantungan investasi asing yang mengikat dalam pembangunan nasional yang telah dianggap lazim. Kemudian turunan lainnya dari bidang sosio-ekonomi pun akan terjebak pada situasi politik jika dilihat dari catatan peristiwa dalam satu dekade terakhir ini seperti adanya gerakan sabotase yang berlindung pada kekuatan rakyat "massa" untuk melemahkan kekuasaan pemerintah atau agenda kudeta atau pembunuhan hingga provokasi separatis. Jadi tidak heran jika agresi ekonomi politik merupakan ancaman layaknya contagion effect.
Berbicara kedaulatan sejatinya kita mengetuk sedikit relung keadaan sosial politik dalam kehidupan bernegara sesuai titah amanat UUD 1945 yakni pasal 1 ayat 2. Dari beberapa indikator diatas yang telah dimuat sebelumnya dapat disimpulkan bahwa negara Indonesia belum mampu menjadi negara yang berpengaruh secara playmaker atau brand power di Asia secara signifikan dilihat dari indeks reputasi kepercayaan dunia terhadap indonesia saja hanya menginjak angka 6.2% dibawah negara tetangga. Oleh karena itu sebelum terjadinya badai krisis yang dapat memicu konflik yang lebih luas kita hanya bisa memiliki dua pijakan dasar yakni membenah segenap internal kebangsaan dan terakhir menata kesepakatan sementara dengan pihak terkait melalui jalur diplomasi publik.
Penulis redaksi : Letda (KC) Melgi Ardi, S.Ag, M.E
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H