Saat rekom PDI-P untuk calon walikota Surabaya diumumkan dan nama Eri Cahyadi yang terpilih, sontak bikin gaduh dan terheran-heran bagi warga Surabaya, khususnya bagi kader dan simpatisan PDI-P.
Karena nama Eri Cahyadi sama-sekali asing bagi lingkungan kader PDI-P, sehingga sebagian kalangan banyak yang tidak terima dengan keputusan ini, bahkan yang menerimapun itu dengan hati yang terpaksa.
Padahal kader PDI-P Surabaya sendiri ada yang mempunyai hajat kuat untuk mendapat rekom calon walikota Surabaya. Whisnu Sakti Buana adalah kader senior bahkan merupakan putra dari salah satu pendiri partai PDI-P.
murni kader partai yang sedari awal merawat dan berkontribusi mulai dari pembentukan sampai kemudian PDI-P menjadi partai yang mayoritas di kota pahlawan. Tapi kenyataan ini pun belum mencukupi syarat pak Whisnu Sakti Buana mendapat rekom dari partainya sendiri.
Setiap kalangan baik masyarakat awam dan kader PDI-P sendiri yang belum ada akses informasi pada pusat, terus bertanya-tanya dengan dasar rekom yang jatuh pada nama Eri Cahyadi.
Padahal kadernya sendiri Bapak Whisnu Sakti Buana, bukan hanya berbentuk wacana atau klaim saja, hajat yang kuat dan serius itu sudah ditunjukkan dengan tim-tim yang dibentuk di setiap pelosok Surabaya, parahnya lagi foto dan gambar Whisnu sudah disebar disetiap jalan dan gang-gang kecil se-Surabaya.
Seharusnya pengurus pusat utamanya ketua umum Megawati membaca kesungguhan dan niat Whisnu untuk walikota Surabaya.
Sedangkan Eri Cahyadi yang punya nasib baik mendapatkan rekom PDI-P padahal sama sekali tidak ada kontribusinya pada partai.
Sebagian keder internal partai yang merasa kecewa dengan putusan ini menyebut Eri Cahyadi sebagai kader Karbitan karena Eri Cahyadi resmi mendaftar sebagai kader PDI-P setelah mendapatkan rekom yang disampaikan secara virtual oleh ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Fenomena ini menjadi bibit kegaduhan dan desas-desus perpecahan PDI-P Surabaya. Dan pada perkembangan hari ini, perpecahan menjadi kenyataan.