Rasulullah SAW suatu ketika pernah mempunyai uang 90 dirham, semuanya diletakkan di atas tikar dan kemudian beliau bagikanj kepada orang yang membutuhkan. Datanglah kemudian orang-orang kepada Rasulullah SAW untuk meminta uang dari beliau, tiada seorangpun yang ditolak permintaannya oleh Rasulullah SAW hingga dalam waktu tak berapa lama uang tersebut telah habis semuanya.
Seseorang datang kemudian ketika uang tersebut telah habis, namun tidak ada lagi uang pada diri beliau yang bisa diberikan. Sabdanya kemudian, “aku tidak mempunyai apa-apa lagi, namun demikian, belilah sesuatu dengan cara berhutang dan hutangmu itu menjadi tanggunganku. Nanti jika aku telah mendapatkan rizki, aku akan membayarnya.”
Cerita Rasulullah SAW di atas memberikan sebuah pelajaran bagi kita bahwa sangat penting untuk berbuat baik kepada sesama. Seseorang yang melakukan kebaikan kepada sesame adalah orang yang telah bersedia melarutkan egonya. Mampu memahami kondisi dan situasi yang tengah dialami orang lain, mampu berempati dan perasaan ini akan memunculkan rasa kasih dan sayang.
BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara JKN menggunakan prinsip gotong royong
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah penyelenggara dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang merupakan program pelayanan kesehatan mulai 1 Januari 2014 yang sistemnya menggunakan sistem asuransi. Artinya, seluruh warga Indonesia nantinya wajib menyisihkan sebagian kecil uangnya untuk jaminan kesehatan di masa depan.
Bagaimana dengan rakyat miskin? Tidak perlu khawatir, semua rakyat miskin atau PBI (Penerima Bantuan Iuran) ditanggung kesehatannya oleh pemerintah. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi rakyat miskin untuk memeriksakan penyakitnya ke fasilitas kesehatan.
Kenapa dikatakan menggunakan prinsip gotong royong? Sesungguhnya BPJS Kesehatan adalah kita. Jika kita memahami hal tersebut, sebenarnya tidak ada istilah atau kata ‘memusuhi’ BPJS Kesehatan. Dia merupakan program JKN dimana dibentuk dari peran dan kerjasama pemerintah, peserta dan fasilitas kesehatan (fakes)/tenaga kesehatan (nakes) yang dikenal dengan limas JKN. Tenaga medis dan paramedis yang bekerja di pelayanan, peserta yang membayar preminya, pemerintah yang terus meningkatkan fasilitas dan tenaga kesehatan berjalan bersama-sama untuk JKN.
Sebagai contoh yang mudah bagaimana BPJS Kesehatan tersebut mari kita pahami cerita analogi di bawah:
Suatu kampung bernama Kampung Indo yang terisolasi dari dunia luar memiliki warga berjumlah ± 1000 kepala keluarga memiliki masalah banyak warganya yang sakit. Status mereka beragam, ada yang sangat kaya, ada yang sangat miskin. Terdapat beberapa dokter di sana, tetapi praktek mereka jalan sendiri-sendiri dengan biaya pengobatan yang bervariasi. Akhirnya kepala kampung membuat suatu kebijakan untuk mengatur sebuah program jaminan kesehatan kampung yang disebut jaminan sosial kesehatan (JSK). Jaminan sosial kesehatan ini dibentuk dengan pegawainya dari perangkat kampung, dananya didapatkan dari urunan masyarakat kampung dan dokter yang ada masuk ke dalam program tersebut dengan tarif dan standar pelayanan yang sudah diatur rinci. Tugas kepala kampung adalah terus meningkatkan sarana dan prasarana kesehatan dengan membangunkan tempat pengobatan yang layak, menyediakan tenaga medis dan paramedis yang cukup dan mengatur regulasi keuangan agar semua warga yang sakit terlayani. Tugas warga adalah rutin membayar urunan yang disepakati dan mengawasi jalannya pelayanan, sedangkan tugas tenaga kesehatan adalah melayani warga yang sakit.
Begitulah sebenarnya program JKN yang diselerenggarakan BPJS Kesehatan namun dalam segala lebih besar. Jika memahami analogi tersebut, maka pasti kita memahami bahwa sebenarnya BPJS Kesehatan adalah kita dan menggunakan prinsip gotong royong.
Tenaga Kesehatan Juga Bergotong Royong
Di pemberitaan kita sering mendengar keluhan masyarakat sebagai peserta dan pasien JKN. Keluhan tersebut antara lain antrian yang panjang mengular, waktu konsultasi dokter yang sangat pendek, jenjang rujukan yang ribet dan administrasi yang berbelit-belit. Memang hal tersebut tidak bisa dipungkiri. Dengan berjalannya program JKN lebih dari 2 tahun ini memang diperlukan koreksi untuk kesempurnaan program di masa yang akan datang.