Lihat ke Halaman Asli

Melchior Purnama

Mahasiswa Filsafat Di Institut Filsafat Dan Teknologi Kreatif Ledalero

Beda Keyakinan Itu Pilihan

Diperbarui: 22 November 2024   07:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Beda Tuhan: Sumber Pinterest 

" Ingatlah satu hal. Kamu boleh mencintainya. Tetapi, Jangan ambil Ia dari Tuhannya "

     Tentang cerita yang terangkai adalah kisah dimana kembali semesta mempermainkanku. Sejenak aku ingin mendekap amnesia namun nyatanya krimtonesia kembali menyapaku. Dipertemukan dalam suatu kemauan dan dipisahkan karena ketidakmauan berpaling. Menulis kisah-kisah dalam lembaran putih tak bernoda adalah pilihan yang tepat bagiku dan mungkin tidak bagimu. Tatkala alam pikiran merasa lelah dan lemah mengingat cerita secara detail, hingga perlu jemari yang setia untuk menari dalam menghitamkan semua cerita itu pada lembaran putih yang kelak akan menjadi kenangan. Sebagai pengantar, ini mungkin saja akan menjadi permenungan bagi pembaca sekalian, sebab sebagian kita akan merasa canggung dalam menjalani kisah dengan lintas iman yang berbeda. Menanggapi semua keraguan itu, saya hanya bisa tertawa. "Beda keyakinan itu pilihan, tetapi berpaling dari keyakinan itu kekeliruan". Jangan lupa membaca sembari tersenyum. Setiap aksara yang lahir adalah kebenaran imajinasi yang terangkai dalam tulisan bermakna atau tidak ini, tetapi yang diingat adalah Cinta itu luar biasa menyenangkan sekaligus menyedihkan.

       Perkenalkan namaku Jimy. Aku tak tahu asal usul nama itu, yang jelas adalah hasil dari perdebatan ringan antara dua insan yang tentunya sangat berharga bagiku, ayah dan ibu. Aku dilahirkan dalam situasi yang sangat membahagiakan, walaupun tangisan dan rengekan yang begitu tak nyaring tidak menutup kemungkinan-kemungkinan untuk menghalau kebahagiaan itu. Sesungguhnya dalam ziarah menapaki hidup yang penuh misteri ini, aku tak lelah mencari arti dan makna dibalik nama itu. Perihal jawaban yang kuterima dari kedua orang tuaku, nama itu adalah tanda dimana aku senantiasa akan berhadapan dengan cerita-cerita yang sungguh tak bisa dipahami, tetapi akan benar-benar terjadi dan sulit terelakan. Jadi aku semestinya ikuti alur dan permainan semesta atas pesan sang Pencipta. Setelah Setahun bersama semesta, aku kembali dipertemukan dalam misteri tentang "pembaptisan" dengan pemberkatan oleh air yang dikatakan suci. Entahlah aku tak tahu artinya itu. Yang kutahu aku telah resmi menjadi anggota Gereja dan pengikut Kristus, atau orang tuaku bilang "orang katolik". Mencari makna dari nama saja mengalami kebingungan, apalagi harus mencari arti dari kisah hidup yang sedang dijalani. 

     Semua kisah bermula dari hobi ku dalam menulis. Menulis adalah seni bagiku. Aku menyadari kegagapanku dalam mengungkapkan berbagai perihal, akhirnya mengalami kebuntuan saat ingin berbicara. Amigdalaku seakan keluh untuk bersalih. Lidah yang banyak menyingkap kata, namun terasa lemah dalam menuturkan. Tanpa menulis hidup terasa hampa bagiku. Sebab mengingat setiap cerita berharga yang telah berlalu secara mendetail sangatlah susah, seperti ingin menceritakan mimpi tapi tak banyak yang diingat. Gegara menulis aku kembali terjebak dalam dunia kasmaran yang sejak merasakan pahit dan getirnya, aku berusaha melepaskan diri dari kukungan dunia asmara itu. Mungkin tepatnya aku trauma bukan karena patah hati, tapi untuk tidak menyakiti lagi. Banyak kisah yang terlewati dengan berbagai rupa kaum hawa yang hadir, tetapi kali ini sungguh berbeda daripada biasanya. Menulis membuat aku senantiasa mengartikan semuanya secara tertulis, dari awal pertemuan hingga perpisahan. Sebagaimana aku berusaha untuk meng-apikkan secara menyeluruh semua kisah itu. Seakan aku telah menguasai waktu, yang tiada waktu untuk tidak menulis. 

     Namanya Dwi Sophia Handini yang biasa kupanggil Sophia. Jangan pernah tanya asal-usul namanya. Yang harus dipahami adalah orangnya cantik dan dapat dikatakan sebagai penghuni semesta bagi kaum hawa yang begitu luar biasa. Aku mengenalnya pada suatu group menulis yang bernama "Rumah Aksara Kita" atau kami biasa sebut RAKIT. RAKIT menjadi sandaran utama bagiku dalam mengkolaborasikan antara imajinasi dan kata-kata. Dunia itu seakan membiusku untuk semakin giat dalam menulis. Kembali kepada Sophia. Dia gadis bermata sipit dan lesung pipinya, tentunya rambut hitam pekat terurai lurus menjadikannya sebagai bintang dalam kelompok menulis kami. Dia berbeda denganku dari segi usia. Setahun setelah aku menikmati betapa indahnya semesta, barulah Sophia hadir dengan cantik yang datang sejak lahir. Walau sejalan dalam dunia tulis, kami juga berbeda keyakinan. Dia bersama keluarganya mempercayai bahwa Dewa-dewa itu ada, sehingga mereka dikatakan sebagai orang berkeyakinan hindu. Walau kami berbeda, Sophia orangnya asik dan menyenangkan jika dijadikan lawan bicara. RAKIT tak pernah mempermasalahkan dari mana latar belakang kami. Kami semua yang bergabung adalah sekumpulan orang yang bersatu berasal dari perbedaan. Terkhusus keyakinan kami yang berbeda tiap orang. 

      Kembali pada Aku dan Sophia. Dalam suatu kesempatan, tepatnya hari Rabu sore pukul 15.00, kami lekas berkumpul kembali seperti lazimnya, sebab kami harus kembali terjebak dalam diskusi senja bersama. Begitu banyak hal yang kami perbincangkan dan tentunya untuk menghidupkan suasana. Dalam keriuhan itu yang terdengar hanyalah kepuitisan kami yang telah terbiasa berkata-kata. Setelah diskusi usai, seperti biasa aku berjalan menyusuri koridor depan gedung bercat putih sembari memapah gitar yang selalu menemani di kala sepi menyelimutiku. Setelah lama berjalan, aku menaiki tangga menuju ke salah satu balkon dari gedung RAKIT hanya untuk menikmati senja sore itu. Lantas aku duduk menghadap sunset dengan senyum indahnya sebelum pamit karena tugasnya telah usai. Lima belas menit lamanya aku termangu dalam kesepian dan membiarkan jemariku memetik gitar hingga alunan terdengar meneduhkan. Mulutku terasa keluh untuk bersuara, hingga hanya dia yang berdawai itu leluasa bersuara. Hingga aku terhenti dalam mengalun nada, sebab ada suara akrab yang menyapaku dan memaksaku untuk terdiam sembari menghentikan semua tindakanku.

Benar, siapa lagi kalau bukan Sophia. Si gadis bermata sipit itu tersenyum simpul hingga tak lelah menampilkan lesung pipinya, membuat aku ingin mencubitnya namun aku tertahan.

"Hay Kak" Sapanya dengan suara lembut.

"Hay Sophia, Sedang apa kamu disini ?" Jawabku sembari lanjut bertanya.

"Tidak ada kak. Aku hanya lewat saja didepan dan tidak sengaja aku dengar alunan gitar. Jadi aku penasaran, rupanya situ yang mainin". Jawabnya tanpa meredupkan senyum manisnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline