Lihat ke Halaman Asli

Puisi "Simfoni Cinta dari Taman Eden"

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

SIMFONI CINTA DARI TAMAN EDEN

Aku:
Apakah kau tahu, begitu besar hasratku membuaimu dengan kalimat mesra, namun tak satupun mampu kuucapkan?
Apakah kau tahu, begitu besar niatku mendekapmu, namun tak sekalipun kau ku dekap karena ku takut tertidur lelap tanpa sanggup bangun kembali?

Kau:
Mengapa kau harus berpikir dua kali untuk cinta?
Cinta manusia kerapkali tumpul oleh nafsu, namun kata hati tetaplah setajam pedang, sebuah suara kebenaran walau kerap kita tak tahu apa itu kebenaran,
dan pasrahlah pada belaiannya, walau kau tahu sentuhan itu sanggup menorehkan luka berdarah di hatimu...

Aku:
Aku juga takut pada Waktu. Tidak pernah bisa ku ukur. Tak pernah bisa kulompati, meski hanya untuk sekedar mengintip apa jadinya aku dan kau suatu saat nanti.
Roda raksasanya akan menggilas habis kita berdua, kerat demi kerat, dan aku akan mati perlahan-lahan dalam derita panjang...

Kau:
Mari kekasihku, mendekatlah, biar kusandarkan kepalaku didadamu. Buanglah rasa takutmu, tinggalkan iblis-iblis pucat itu dalam tangis kecemburuan!
Dan kau Roda Waktu, belajarlah untuk bersabar, karena guliranmu akan melambat untuk menyaksikan detik demi detik hidup bahagia kami...

Aku:
Aku ingin mencintaimu dengan bahasa alam semesta. Bahasa yang digunakan matahari pada bumi, lumba-lumba pada kapal yang tersesat, tanah subur pada pak tani, dan hutan rimba pada satwa liar.

Kau:
Betapa bahagianya aku dicintai. Tak selayaknya aku tinggi hati dan sombong atas setiap cinta yang datang menyapaku.
Wahai cinta, engkau adalah anugerah terindah kaum fana, warisan kesempurnaan taman eden yang terbawa turun oleh adam dan eva.

AkudanKau:
Oh Tuhan, sang pemilik kebun apel di taman eden, sumber segala cinta di Dunia...
Bukalah mata kami untuk melihat kuasaMu, menyaksikan warna warni cintaMu yang berhembus diantara kami.
Izinkan kami meraihnya dan meletakkannya di dada, agar membaur dalam denyut nadi dan aliran darah, menyertai kami seumur hidup, hingga maut datang menjemput, tuk membawa kami kembali ke kota suci itu.

Pontianak, 8 Februari 2011
Melchior Salvatore




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline