Lihat ke Halaman Asli

Sang Presiden Mengalami Penyakit yang Super Duper Komplit

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah Republik yg kondisinya carut marut seperti Indonesia hiduplah seorang Presiden yg berkuasa (yg katanya) atas nama rakyat. Suatu ketika Sang Presiden mengalami penyakit yg super duper komplit. Mulai dari PKK (PanuKadasKurap), bengek, sembelit, impoten, flu tulang, hingga kanker, jantung koroner, sampai stroke ringan. Karena Sang Presiden sakit, maka negeri yg carut marut semakin menuju ke dalam keadaan yg chaos a.d. Mulai tim dokter kepresidenan, shinshe Cina, tukang urut Cimande, hingga berbagai rupa dukun (dari dukun pijat, beranak, hingga togel) dipanggil.

Mereka berjuang menyelamatkan Sang Presiden idam-idaman rakyat. Akhirul diagnosa, diambil kesimpulan bahwa Sang Presiden hanya sembuh klo makan gorengan jantung pemuda hitam manis yg berbodi kutilang (kurus tinggi langsing), jago nulis, dan terkenal sebagai mahasiswa abadi. “APA (ekspresi kagetnya Olga), kok kayak yg nulis nih artikel???”.
Para intel (mulai Celeron sampe Core 2 Duo) menyebar ke seluruh negeri. Untuk nyari nih orang. Para anggota dewan yg biasanya hobi tidur, siang malam rapat untuk melegislasi UU yg membolehkan makan gorengan pemuda. Jaksa Agung mengetukkan palunya menyetujui UU ini. Bahkan para Ulama segera buka2 kitab untuk memberikan fatwa halalnya makan gorengan jantung pisang, eits manusia. Sedangkan Menteri Penerangan muncul 3 kali sehari (kayak minum obat aja) di stasiun televisi, radio, dan koran serta majalah untuk menerangkan kamsud Sang Paduka dan manfaatnya bagi Republik dan rakyat seluruh tanah air.

Akhirnya orang yg dicari ketemu juga. Dengan embel-embel demi kemaslahatan bangsa maka mulai gubernur, bupati, camat, lurah, ketua RT/RW nih pemuda diam waktu pemuda tersebut dikeler kayak maling jemuran ke mobil trantib. Bahkan dg iming2 gelar bintang Mahakarya Penyelamat Negara, piala Adijasa Kartika, uang berjuta-juta, hingga bedah rumah, orang tua si pemuda pun rela menyerahkan anak satu-satunya yg merupakan hasil garapan kerja lembur semalam suntuk.
Maka tibalah hari eksekusi. Sang pemuda akan dihadapkan ke depan halaman istana. Prosesinya dibuat sekhidmat mungkin lebih dari upacara bendera peringatan lahirnya Republik tersebut. Hari eksekusi ditetapkan sebagai hari libur. Ratusan bahkan ribuan wartawan media merelay secara langsung detik-detik menegangkan tersebut. Bahkan koran, radio, dan televisi menyiarkan secara berkala mulai dari H-7 hingga H+7 (kayak mudik aja).
Acara pun dimulai dg dibuka dg dua tiga biji pidato, kemudian doa dari ketua Mufti Ulama Negara, akhirnya lima orang algojo berjalan menuju halaman istana sambil menyeret sang pemuda untuk segera dieksekusi. Tiba-tiba sang pemuda itu mendongak ke langit dan tersenyum. Sang Presiden dan para hadirin semua terhenyak dan kaget. Mereka semua bertanya-tanya, dalam keadaan seperti ini mengapa pemuda ini malah tersenyum??
Seperti punya pikiran ala Joe Sandy pemuda ini mengerti gundah gelisah para hadirin semua. Dalam penghabisan kali pemuda ini kemudian angkat bicara. “Ayah dan bunda seharusnya menjaga dan merawat anak-anaknya, para wakil rakyat haruslah menjadi pembela rakyat, jaksa agung mestinya tempat pengaduan, Ulama harusnya menjadi penerus para anbiya’ penegak kebenaran, dan penguasa adalah pelindung bagi rakyatnya dan penegak keadilan. Tapi kini ayah dan ibuku mengantarkan aku pada kematian karena pertimbangan dunia, wakil rakyat telah mensahkan undang-undangnya, jaksa agung mengetokkan palunya, Ulama juga telah mengeluarkan fatwanya, dan penguasa telah mencari keselamatan dg jalan membunuhku. Selain Tuhan tidak ada lagi yg melindungiku.
Kemana aku harus lari dari cengkeraman tanganmu? Kemana aku harus lari dari kedzalimanmu, wahai penguasa? Jika keadilan telah kalian pemainkan demi nafsu sesaat? Jika kebenaran hanyalah apa yg menurut kalian benar? Jika hukum dapat kalian jual belikan?
Maka akan aku cari keadilan yg bertentangan dg kekuasaanmu. Akan aku cari kebenaran mutlak yg jauh dari pengaruhmu. Dan jika hukum dunia tidak mampu menyelamatkanku, semoga hukum Tuhan mampu membebaskanku.”
Mendadak para algojo jadi mampret. Semua hadirin jadi bergetar. Apalagi suasana kemudian menjadi gelap dg datangnya mendung dan tanda-tanda angin puting beliung.
Sang Presiden akhirnya tersentuh. Ia menangis dan berkata, “lebih baik aku binasa daripada menumpahkan darah yg tak bersalah”. Sang Presiden mencium kepala sang pemuda, memeluknya, dan membebaskannya dari eksekusi.
Akhirul kalam, menurut shahibul hikayat, pada saat itu juga Sang Presiden sembuh dari sakitnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline