Seringkali kita mendengar dukungan atau kebencian terhadap kecerdasan buatan (Artificial intelligence), entah itu kecerdasan buatan yang sangat membantu manusia menyelesaikan masalah dalam waktu yang singkat atau penggunaan AI dalam dunia seni yang dianggap rendahan. Dua sisi tersebut menimbulkan perdebatan apakah manusia perlu berjalan bersama dengan AI atau meninggikan ego untuk tetap mandiri. Mereka yang menganggap bahwa AI adalah masa depan manusia berharap agar AI terus berkembang dan digunakan sebagai alat yang memudahkan pekerjaan sehari-hari. Di sisi lain, mereka yang ingin tetap mandiri menganggap bahwa AI terlalu andal dalam segalanya, baik dari segi kecepatan dan kemampuan analisis, sehingga takut bilamana AI pada masa depan akan menggantikan manusia. Sebenarnya, tidak ada yang perlu ditakutkan terkait kecerdasan buatan jika kita menyadari bahwa benda itu hanyalah alat. Kecerdasan buatan memang memiliki otak yang cemerlang, tetapi manusialah yang menciptakan dan mengendalikan otak tersebut.
Menilik dari awal mula mengapa manusia berpikir untuk menciptakan kecerdasan buatan, pada tahun 1943 dua ahli bernama McCulloch dan Pitts memperkenalkan konsep awal neuron buatan yang digunakan untuk berhitung. Kemudian, Alan Turing mengembangkan ide tentang sebuah mesin cerdas dan menciptakan suatu program bernama Turing test untuk mengukur kecerdasan pada mesin. Berlanjut ke tahun 1956, berlangsungnya konferensi di Dartmouth College, dipimpin oleh John McCarthy, Marvin Minsky, Nathaniel Rochester, dan Claude Shannon menghasilkan istilah Artificial intelligence, menjadikan acara ini menjadi kelahiran dari AI. Dipimpin dan diperbaiki oleh para ahli dari seluruh dunia, AI berkembang dengan sangat pesat, menyimpan segudang informasi di luar batas kemampuan manusia. Hasil yang didapatkan pun tidak main-main. Pada tahun 1997, sebuah mesin kecerdasan buatan bernama Deep Blue dari IBM (sebuah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi) mampu mengalahkan seorang Grandmaster atau bisa disebut juara catur dunia, Garry Kasparov. Pertandingan catur tersebut menjadi fenomenal, membuka mata sebagian orang bahwa AI mulai bersaing dengan manusia.
Hasil pertandingan tersebut membuat mereka terus menyempurnakan AI dan melatihnya untuk mempermudah pekerjaan manusia. Misalnya saja, AI digunakan sebagai asisten serba tahu yang hanya perlu dipanggil namanya, sebagai tukang sapu yang akan melakukan pekerjaannya tanpa dibayar, atau sebuah sumber serba tahu yang sering menjadi penyelamat para pelajar ketika berada di garis deadline. Terlihat dari permukaan bahwa apa yang dilakukan oleh AI ini sangat membantu manusia dalam menyelesaikan pekerjaan, tetapi di sisi lain AI terkadang membuat kita terlena dengan keuntungan yang mereka berikan. Seperti yang kita ketahui, kita tidak perlu membayar AI seperti kita membayar gaji kepada karyawan. Kita hanya perlu beli, gunakan dan isi dayanya jika sudah habis. Hal ini sangat menunjukkan bahwa AI lebih efisien dan lebih hemat bagi sebagian orang, tak perlu mereka susah-susah membayar seseorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan dengan hasil yang sama. Hal inilah yang menjadi sumber ketakutan bagi beberapa orang yang berpotensi tergantikan oleh kesempurnaan AI, kemudian menganggap AI sebagai musuh.
Ketakutan dari mereka justru mengungkapkan masalah utamanya, yaitu tergantung bagaimana kendali manusia terhadap AI. Mereka yang kurang kendali menganggap AI berbahaya karena mereka melihat AI sebagai mesin kompleks yang misterius nan cemerlang, memiliki kemampuan yang jauh di atas mereka. Ketidaktahuan mereka terhadap cara kerja AI menciptakan sebuah ketakutan tersendiri, tetapi hal ini merupakan hal yang wajar sebab manusia cenderung takut atau waspada terhadap hal yang tidak mereka ketahui. Sebaliknya, mereka yang mahir dalam mengendalikan AI justru menjadikan AI sebagai alat yang merugikan manusia lainnya demi kepentingannya sendiri, sebagai contoh pada tahun 2010 terkuaknya skandal oleh Cambridge Analytica yang menggunakan AI untuk memanipulasi pemilihan suara berdasarkan data media sosial mereka. Penggunaan AI oleh manusia yang tidak bertanggung jawab meninggalkan kesan buruk bagi mereka yang tidak tahu bagaimana cara kerja AI, kemudian menyalahkan AI sebagai pelaku daripada manusia yang menjadi dalang dibalik kejadian tersebut.
Sudah saatnya kita menyadari banyak hal keliru tentang persepsi kita terhadap kecerdasan buatan. Ketakutan kita terhadap AI menghambat kita dalam berinovasi. Dengan adanya kecerdasan buatan ini, kita dapat menemukan jawaban yang simpel dari masalah yang kompleks. Selain itu, kita bisa memanfaatkan teknologi ini untuk mencari inspirasi dan berkarya lebih baik. Pemanfaatan AI tidak hanya untuk kebutuhan memecahkan masalah di dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menggunakannya untuk menciptakan terobosan baru dalam bidang kesehatan, pendidikan, transportasi, atau bahkan pertahanan dan keamanan. Namun, penting bagi kita untuk memahami risiko dan seluk beluk kelebihan dan kekurangan AI agar kita dapat terhindari dari kerugian oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Dengan begitu, lambat laun kita tidak hanya memandang AI sebagai mesin kompleks misterius yang menakutkan, tetapi menganggap mesin kompleks itu menjadi teman kita dalam berkembang ke arah yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H