Lihat ke Halaman Asli

Melathi Putri Cantika

keterangan profil

Bukan Enggan

Diperbarui: 6 Oktober 2020   13:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Nanti saja, sodorkan pilihan ketika aku sudah dewasa.
Tapi ternyata dewasa tidak permisi dulu. Ia melaju tanpa malu ke depan pintu rumahku. Katanya sudah saatnya yang kutunda menunggu untuk diramu. Aku terpaku. 

Ia menatapku dengan meminta tanda tangan berlumur abu. Katanya, sebagai pengingat bahwa banyak keputusan malah mengantar pemutusnya menjadi abu.

Dewasa duduk di hadapanku, menarik kursi dan mematung. Seperti menunggu alu mencium lesung, ia tidak lantas pergi ketika melihatku termenung. Sampai ada bunyi asu mbaung, ia malah seperti sukarela dipasung. Enggan pulang meski tahun sudah terhitung.

"Kapan-kapan datanglah lagi," kataku.

"Seorang kawan lama memberitahu bahwa aku semestinya datang"

"Siapa kawan lamamu itu?"

"Si Tua"

"Mengapa kau dengarkan si Tua bahkan ketika ia mendahului orang yang harusnya kau kunjungi dulu? Ia bahkan tidak jarang menghentikanmu dari mengunjungi orang yang sama. Kau masih menyebutnya kawan lama?"

"Kawan lama selalu menghangatkan. Memberi apa yang kau tahu tidak akan dapatkan dari kawan barumu. Ia menghentikanku dari mengunjungi orang-orang yang hanya akan membuang waktuku"

"Dan ia memberitahukanmu untuk datang padaku?"

"Bukankah sudah jelas?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline