Lihat ke Halaman Asli

Shock Terapi Para Dosen

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah datang terlambat kekampus. Dengan alasan inipulalah saya diusir orang nomor satu dikelas itu. Yah apa boleh buat, memang itulah peraturanya dan saya paham akan itu.

Saat dosen datang terlambat anehnya kami tak punya daya untuk mengusirn ya atau menyindir keterlambatanya padahal jelas-jelas batas keterlambatan itu sepuluh menit sudah menjadi kesepakatan dikelas kami itu. Namanya juga yang empunya kelas jadinya diam saja. Tanpa rasa bersalah atau memberi alasan yang tepat sang dosenpun masuk. Anehnya atau jagonya ada juga dosen yang dengan gentle meminta maaf dari kami atas keterlambatannya dan menanyakan kami apakah masih bersedia belajar atau tidak, siap!!!

Satu yang menjadi teka-teki bagi saya saat masuk kelas adalah shock terapi para dosen. Shock terapi bukan berarti sang dosen memberikan alternatif penyembuhan lewat terapi, bukan seperti itu tapi adanya kuis atau tugas dadakan dari sang dosen, impromptu. Baru masuk kelas, langsung saja diberikan soal (closed book) untuk menganalisa sebuah permasalahan lewat materi yang telah dijabarkan sebelumnya. Tak jarang saya tak mendapatkan apa-apa, nol besar. Huh!!! Bagaimana tidak, soalnya saya tak ada persiapan sama sekali untuk pertanyaan itu. Belum lagi ujianya opened book tapi jawabnya tak pernah ada didalam buku, harus consult dulu dari referensi lain.

Saya paham sebenarnya niat sang dosen lewat shock terapinya, ia bermaksud mengukur sebesar apa kepekaan,kesiapan dan kemampuan kami dalam pelajaran yang telah dibahas, apakah benar benar diaplikasikan, dieleborasi ulang atau hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Kesal memang bila sudah mendapatkan seperti ini, dosen pastinya menjadi kambing hitam akan hal ini. Tapi jauh dilubuk hati, sebenarnya saya tahu jawabanya aslinya, yah sayalah masalahnya.

Kadang saya berusaha untuk belajar dengan sungguh-sunguh sebelum memasuki kelas. Tapi apa? Tak pernah ada shock terapi yang sama. Akibatnya tak saya applikasikan hal seperti itu lagi. Saat saya lengah disitulah sang dosen berulah. Sepertinya mereka bisa membaca pikiran saya dan teman saya.

Yah itulah pelajaran bermanfaat dari para dosen yang rasanya sangat menyakitkan tapi bersipat mendidik.

Tentunya sang murid tak akan lebih jago dari gurunya. Tapi bukan berarti murid tak bisa menjadi guru.

Salam sayang,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline