Cerita bersambung ini diadaptasi dari naskah perrtunjukan Agus Noor berjudul Hakim Sarmin
"Tenang, Hakim Sarmin... Tenang..." kata dr. Putra mendekati orang berjubah hitam yang ternyata bernama Hakim Sarmin. "Rileks... Ayo tarik nafas pelan-pelan... Hembuskan..."
Walikota dan sekertarisnya kemudian berpandangan. Mereka mengenal Hakim Sarmin sebagai sebagai hakim legendaris di kota itu dan kini mereka melihatnya sebagai orang gila yang dalam proses penyembuhan.
Hakim Sarmin sudah tenang. Dia lalu berjalan pelan seolah sibuk mencari sesuatu. Hakim Sarmin berjalan mendekati Sekertaris Walikota. Sang Sekertaris beringsut menghindar. Bahkan sepertinya, Hakim Sarmin sengaja menggoda Sekertaris Walikota.
"Sedang mencari apa, Hakim Sarmin?" tanya Pak Walikota mencoba melindungi sekertaris dengan menjadi jarak antara Hakim Sarmin dan sekertarisnya. "Apakah ada uang yang jatuh?"
Hakim Sarmin menoleh ke arah Pak Walikota dan menatapnya lama.
"Hakim tidak boleh terima uang," kata Hakim Sarmin.
"Kalian pasti ingat dengan Hakim Sarmin ini," kata dr. Putra sambil tersenyum. "Dia telah mengubah seluruh tatanan hukum dan peradilan kita ketika dia memvonis bebas seorang jendral yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi. Jendral itu yang dikenal dekat dengan Anda kan, Pak Walikota?"
"Sa... saya tidak ingat," kata Pak Walikota dengan gagap.
"Kita memang cenderung suka melupakan hal-hal buruk yang tak ingin kita ingat," ujar dr. Putra sambil tersenyum meledek. "Biar saya yang mengingatkan kalau begitu. Saat itu pengadilan kita menjadi pengadilan lelucon. Hukum tidak lebih dari sekedar banyolan. Keputusannya dianggap gila. Namun kita semua tidak berdaya. Apalagi sejak diberlakukannya undang-undang larangan mengkritik pejabat publik. Kita semua jadi kehilangan keberanian. Sejak itulah, wabah kegilaan ini terjadi."