"Resolusi gue tahun depan adalah menikah," kata Dona sambil melipat tangannya di atas meja.
"Emang pacar lo mau ngelamar?" tanya Agnes tanpa menolehkan kepalanya.
Agnes masih sibuk dengan laporan sediaan narkotika dan psikotropika yang harus diserahkan pada kepala departemen farmasi sebelum pukul 4 sore ini. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menghalangi pandangannya pada layar komputer. Di tangan itu, di jari manisnya, terdapat sebuah cincin emas bermata berlian kecil namun berkilauan. Agnes menolehkan kepala melihat pemilik tangan itu yang tersenyum padanya.
"Semalem, Thomas datang ke rumah. Di depan mama sama papa, dia masang cincin ini," terang Dona sambil menangkupkan tangannya dan menempelkannya di pipi kanannya.
"Wah, selamat ya," kata Agnes datar.
Mata Agnes kembali fokus pada layar komputer. Tangan kanannya memainkan tetikus dengan lincah. Tangan kirinya sekali-sekali menekan tombol yang ada di keyboard.
"Gitu doank tanggepannya?" tanya Dona dengan ketus kembali duduk di tempatnya. Dia memonyongkan bibirnya.
"Kalau lo mau gue tanggepinnya serius, tunggu setengah jam lagi, ya," kata Agnes. "Gue harus ngirim laporan dulu ke Ibu Tiri."
Dona beringsut kembali ke mejanya. Sedangkan Agnes menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan ketika Dona pergi. Sejenak dia terdiam. Matanya menatap layar komputer namun pikirannya berkelana ke hari itu.
Pagi itu, semua berjalan seperti biasanya. Agnes bangun pukul 5 pagi dengan tenang dan bersiap untuk bekerja. Saat dia mengambil ponselnya untuk dimasukkan dalam tas pada pukul 7, ponsel itu berbunyi. Ada pesan dari Candra. Cepat-cepat Agnes membuka pesannya.
Biasanya, Candra memang suka mengirim pesan tentang hal-hal remeh. Namun, sudah beberapa hari belakangan ini Candra tidak mengirimi pesan apapun pada Agnes. Agnes mencoba untuk mengiriminya pesan.