Lihat ke Halaman Asli

Meita Eryanti

TERVERIFIKASI

Penjual buku di IG @bukumee

Mari Berempati, Bukan Menghakimi

Diperbarui: 8 Agustus 2018   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

potretonline.wordpress.com

Sejak punya akun instagram pribadi, aku jarang membuka FB. Banyak hal yang lebih menyenangkan dan produktif (menurutku) yang bisa dilakukan di Instagram. Buble filter Instagram, membuatku hanya melihat hal-hal yang aku sukai: review buku, pengumuman lomba menulis, inspirasi membuat bullet journal, inspirasi membuat bekal makanan, dan semacamnya.

Namun beberapa hari lalu, suamiku menunjukkan di FB seorang teman mengancam akan menghapus pertemanan dengan siapapun yang menghubungkan gempa dengan situasi politik menjelang pileg dan pilpres. Seorang teman lagi membuat status yang intinya, dia ingin orang-orang tetap menjadi manusia ketika melihat atau mendengar sebuah musibah. Bukan kemudian menjadi malaikat atau Tuhan yang menghakimi bencana sebagai azab.

Memang kenapa sih?

Saat melihat-lihat beranda FB, aku jadi melongo membaca status orang-orang yang membuat analisa ngawur tentang hubungan gempa dan situasi politik. Lebih lagi, seorang teman, relawan sebuah kegiatan sosial, membuat status yang juga tidak menunjukkan rasa simpati. Dia menulis tentang hubungan Lombok sebagai pulau tujuan wisata dengan perilaku masyarakat yang dekat dengan dosa sehingga membuat murka Tuhan. Kelanjutan ceritanya, di statusnya dia membahas tentang negara khilafah. Catatannya, temanku ini tidak tinggal di Lombok.

Memang temanku tidak menghubungkan bencana dengan situasi politik negara kita. Namun hal seperti ini perlu juga dibahas sekarang? Ketika orang-orang masih trauma dengan getaran. Ketika orang-orang masih memulihkan luka yang ada di tubuh mereka. Ketika rumah-rumah sedang diusahakan untuk bisa berdiri lagi.

Ada 2 orang teman dalam sebuah group yang kuikuti tinggal di Lombok. Kemarin, salah seorang dari mereka memberi kabar bahwa diri dan keluarganya baik-baik saja. Rumahnya rusak parah namun dia bilang, itu bisa diperbaiki. 

Dia bercerita, semua orang b tidur di halaman rumah beralaskan terpal. Orang-orang trauma dan takut terjadi gempa susulan. Di akhir cerita, dia bilang kalau ini ujian dari Tuhan. Dia dan masyarakat di sana, merasa ini adalah peringatan dari Tuhan untuk bisa lebih memelihara alam.

Saat dia mengutarakan itu, aku terenyuh.

Menurutku, orang-orang yang terkena musibah, memiliki refleksinya sendiri atas apa yang menimpanya. Refleksi tersebut memang tergantung dari ajaran agama dan kearifan lokal yang dianut. Sebagai contoh, bila aku kehilangan uang, aku biasanya otomatis teringat untuk bersedekah. Kalau ada orang lain yang mengingatkan aku untuk bersedekah saat aku kehilangan uang. Biasanya sih aku sebel. Aku kemudian akan berkata, "emang lo tau kapan gue sedekah? Lo sendiri udah sedekah apa aja sih?"

Aku tidak bermaksud sok. Malah bisa jadi orang yang mengingatkanku untuk bersedekah itu memang rutin bersedekah banyak. Namun kalau dia mengingatkanku untuk bersedekah saat aku kehilangan uang itu rasanya ada luka dalam diriku yang ditaburi garam oleh dia. Ya karena aku merasa, "gue udah tau. Gak usah lo ngomong lagi."

Sebagai manusia yang katanya memiliki perasaan, ada baiknya kita simpan terlebih dahulu teori-teori yang kita punya. Kita himpun kekuatan untuk membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah. Kalau kita tidak punya uang untuk didonasikan atau barang untuk dikirim ke sana, kita bisa membuat status yang menguatkan mereka. Bukan malah menghakimi mereka. Kalau itu pun tak mampu, sebaiknya diam. Bukankah lebih baik diam daripada berkata-kata yang melukai perasaan orang?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline