Lihat ke Halaman Asli

Meita Eryanti

TERVERIFIKASI

Penjual buku di IG @bukumee

Menikah Itu, Sekali Berpesta dan Hidup Bersama Selamanya

Diperbarui: 28 Juli 2018   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

http://wow.tribunnews.com

"Apapun yang terjadi, buat biaya nikah jangan sampai berhutang," kata salah seorang kerabat, hampir setahun yang lalu saat aku sedang merencanakan pernikahanku. "Yang gak penting-penting banget kayak foto pre-wedding, photobooth, dan printilan-printilan lainnya yang mahal gak usah ada. Jangan membebani siapa-siapa."

Kerabatku itu kemudian bercerita bahwa orang tua temannya berhutang puluhan juta untuk pesta pernikahan teman kerabatku itu. Namun belum juga hutangnya lunas, ada banyak gesekan-gesekan yang membuat rumah tangga teman kerabatku itu tidak harmonis.

"Nikah itu yang penting after weddingnya," kata kerabat yang lain. "Percuma pesta pora kalo setelah nikah buat makan aja masih minta. Apalagi kalo sampe menyisakan masalah."

Beberapa hari sebelum pernikahanku, aku melihat seseorang yang menyisakan keributan di hari setelah pesta pernikahannya. Usut punya usut, mereka masih mendongkol masalah pesta yang tidak sesuai dengan keinginan beberapa anggota keluarga, masalah pembagian uang sumbangan, pembagian pelunasan tagihan, dan masalah lainnya.

Berbekal dari nasehat-nasehat mainstream tapi benar itu, aku dan suamiku merencanakan pernikahan yang sederhana. Aku dan suamiku, terbuka tentang keuangan kami dan rencana setelah pesta pernikahan pada orang tua kami masing-masing. Orang tuaku kemudian membantu merencanakan pesta pernikahan dan upacara adat.

Aku dan suamiku (calon suami waktu itu), menabung sekian juta rupiah setiap bulan selama setahun (kurang lebih). Dari uang tersebut, sebagian kami simpan untuk menyewa rumah dan membeli perabotan. 

Sisanya, kami serahkan pada orang tuaku untuk keperluan pesta pernikahan. Orang tuaku kemudian meminta seorang saudaraku menjadi pengatur acara. Aku dan suamiku tentu tidak lepas tangan begitu saja. Aku membuat souvenir pernikahanku sendiri berupa cokelat karakter. Suamiku membuat undangan pernikahan kami. Ini cukup menekan pengeluaran, lho.

Akhirnya, dengan dibantu oleh orang tua, saudara, teman, dan banyak orang lainnya pernikahanku berjalan dengan sederhana dan khitmat. Aku bersyukur untuk itu. Di rumah orang tua suamiku, kami hanya mengadakan syukuran kecil yang mengundang teman-teman pengajian ibu. Tidak ada keributan-keributan setelah hari itu. Aku dan suamiku menjalani hari yang baru bersama-sama.

Ada aja sih yang usil dengan pertanyaan, 'kok gak ada ini?' dan 'Kok gak ada itu?'. Terutama, kenapa tidak ada pesta di rumah orang tua suamiku. Sampai-sampai ibu mertuaku mendesak untuk diadakan pesta susulan tahun berikutnya. Namun aku dan suamiku kompak menolak. Kami berdua sama-sama tidak suka melakukan sesuatu hanya untuk menuruti kata orang. Hidup kami harus berlanjut. Kami mau menabung untuk punya rumah dan persiapan ketika buah hati kami hadir.

Pagi ini aku membaca instatory milik akun nkcthi (Nanti Kita Bercerita Tentang Hari Ini) dengan topik biaya nikah. Di situ terdapat banyak cerita orang tentang biaya persiapan mereka. Ada yang biaya pesta pernikahannya sampai milyaran, ada juga yang 'cukup' belasan juta. Aku tidak membaca ada yang biaya pernikahannya di bawah 10 juta.

Aku kembali menengok catatan persiapan pernikahanku dulu. Pengeluaran paling besar, memang untuk menyediakan makanan. Biaya itu lebih dari 10 juta. Tamu undangan pernikahanku tidak banyak. Hanya saudara-saudara yang kami kenal dengan baik, teman-teman dekatku, teman kantor ibuku, dan teman kantor ayahku. Kurang lebih sekitar 250 orang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline