Lihat ke Halaman Asli

Meita Eryanti

TERVERIFIKASI

Penjual buku di IG @bukumee

Setelah Pertanyaan "Kapan Nikah" Terjawab

Diperbarui: 9 November 2017   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kliksolihin.wordpress.com

Pernikahanku berlangsung hampir 2 bulan yang lalu. Aku dan suamiku hidup dengan tenang sampai orang-orang mulai bertanya, 'udah hamil belum?' atau 'Kapan nih isi?'. Belum lagi yang bukan bertanya tapi menuduh disertai dengan saran yang tidak diminta seperti, 'jangan ditunda-tunda' atau 'jangan kb-kb an nanti rahimnya kering' atau sejenisnya.

Beberapa hari yang lalu, aku melihat di Facebook, temanku membagikan tabel yang berjudul 'Tabel Usia Pernikahan Dalam Sudut Pandang Ekonomi dan Masa Depan'. Aku membaca komentar yang menarik yang bertuliskan, "Itu sebenarnya tabel pertanyaan kapan menikah? Kapan punya anak? Kapan mantu? Hidup dengan tabel itu seperti hidup untuk menjawab pertanyaan."

Sejak tahun lalu, aku sudah akrab dengan pertanyaan 'kapan nikah'. Dan jujur saja, tekanan sosial itu berat ketika kita hadapi sendiri. Aku beruntung punya ayah yang akan menjawab, 'Anaknya masih suka main' ketika ada yang menanyakan pertanyaan kapan itu padaku.

Pertanyaan kapan itu seperti tidak ada habisnya. Dosenku pernah berkata, "Pertanyaan dari masyarakat itu akan terus bertingkat dan tidak ada habisnya. Sekarang orang-orang bertanya pada kalian kapan lulus. Setelah itu akan bertanya kapan bekerja? Ketika sudah punya pekerjaan yang mapan mereka akan bertanya lagi kapan menikah? Setelah menikah akan ditanya kapan punya anak? Ketika anaknya sudah agak besar akan ditanya, kapan punya adek? Begitu terus sampai negara api menyerang. Jadi saran saya, kalian belajarlah nyaman dengan diri sendiri dan belajar mengatur emosi dari ketika pertanyaan itu masih ringan."

Lalu ada yang berkomentar seperti ini di status tabel tadi, "Tapi di usia yang katanya ideal tersebut orang masih belum mencapai kedewasaan yang cukup. Jadinya malah berbahaya bagi pendidikan anaknya. Menikah itu kalau sudah waktunya. Waktu manusia dan Tuhan kan berbeda, diikutin aja jalannya. Jodoh mah insya Allah gak akan ketuker."

Usia ideal untuk menikah yang ditunjukkan tabel tersebut adalah usia 25 tahun sampai 28 tahun. Ya jujur saja, pada usia 25 tahun tidak terlintas dipikiranku tentang pernikahan. Pada usia tersebut aku sudah memiliki tabungan yang cukup untuk berfoya-foya. Ya aku melakukan kegemaranku untuk menimbun buku dan jalan-jalan.

Ketika akan mengurus pernikahan, dari KUA mengharuskan aku dan calon suami berkonsultasi dengan psikolog. Kata orang KUA, tingkat perceraian di Sleman (kabupaten tempat aku melangsungkan pernikahan) tinggi apa lagi pada pasangan muda. Karena itu kami wajib berkonsultasi pada psikolog untuk memantapkan pilihan menikah, memberi arahan tentang tanggung jawab suami atau istri di keluarga baru, dan memberi saran tentang bagaimana kehidupan selanjutnya.

Ya jujur saja, tanggung jawab pada diri sendiri, aku masih sangat kurang pada usia kurang dari 25 tahun. Di usia itu aku masih suka merengek-rengek pada ayah dan ibuku. Emosipun sangat sukar untuk dikontrol. Namun seiring berjalannya waktu dan aku banyak berinteraksi dengan orang aku belajar mengendalikan diri dan menjadi manusia yang mandiri.

"Kalo menikah umur 25 tapi baru punya anak umur 45 gimana?" tulis teman yang lain di kolom komentar.

Seseorang menjawab, "Yang nikah awal aja bisa baru dikasih anak umur 45. Apalagi kamu baru nikah umur 40?"

Kedua orang itu kemudian berdebat tentang menikah di usia 'ideal' yaitu 25 -28 tahun seperti dalam tabel dan di usia 'matang' yang merujuk angka 35 tahun lebih. Aku menyimak perdebatan panjang itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline