Lihat ke Halaman Asli

Meita Eryanti

TERVERIFIKASI

Penjual buku di IG @bukumee

Berkah Cucu Penurut

Diperbarui: 24 November 2016   08:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Coba Pak aku dari kampung Rambutan itu jam 6, trus macet di jalan tollnya, sampe di Baros jam 12an. Belom lagi aku udah bilang yah, turun di Padalarang. Katanya ntar masuk ke toll padalarang. Jubule dilewati soalnya bisnya udah penuh dan gak harus nyari penumpang lagi. Trus di toll Baros aku dibuang di pinggir jalan gitu. Aku kilang-kilong. Ini dimana… Ke Padalarang naik apa…. Mana panas lagi. Bete ah pokoknya. Aku gak mau naik kendaraan mobil-mobil lagi kalo ke Bekasi apa ke Jakarta.Gak mau bis, gak mau travel, pokoknya enggak mau lewat toll,” Kataku hampir setahun yang lalu pada Ayahku lewat telepon.
Saat itu, aku baru saja mengalami pengalaman tidak menyenangkan naik bus dari Jakarta ke Bandung. Sejak saat itu aku menjadi penumpang setia kereta api ekspres Argo Parahyangan. Kendaraan yang lebih pasti dalam mengantarkanku ke tempat tujuan. Pasti masalah jadwal, pasti waktu sampainya, dan pasti bebas macetnya. Satu hal yang kurang dari kereta adalah jadwalnya yang tertentu dan tidak tersedia setiap jamnya. Sehingga waktunya terpatok. Tidak bisa flexible.
***
Hari itu, aku ada agenda bertemu kawan-kawan di TMII dan menginap di rumah Simbah di daerah Pondok Gede, Kota Bekasi. Aku ke Jakarta dengan menumpang kereta argo parahyangan seperti biasa dan turun di Jatinegara, Jakarta Timur, kemudian naik ojek ke TMII. Yang di luar dari biasanya adalah aku tidak membeli tiket untuk pulang. Biasanya, bila ke Bekasi atau Jakarta aku langsung membeli tiket kereta untuk pergi dan pulang.
“Siapa tau ada yang mau ngajak main,” Kataku saat itu karena sebelumnya aku berbincang dengan seorang teman dan kami ingin berjalan-jalan.
Besok paginya, saat aku sedang sarapan, Simbah menanyakan kepulanganku ke Bandung.
“Kamu balik Bandung kapan?”
“Nanti sore, Mbah,” Jawabku.
“Naik apa?” tanyanya lagi.
“Naik kereta mungkin,” Jawabku.
“Mungkin? Belum punya tiket kamu berarti?” tanya simbah lagi.
“Belum,” jawabku. “Gak tau deh, kayaknya saya mau main dulu.”
Agak siangan, matahari semakin meninggi dan semakin menampakkan teriknya. Saat aku sedang duduk santai sambil membaca koran, temanku memberi kabar lewat whatsapp kalau dia tidak jadi mengajakku main.
“Lo balik sore ini kan? Kita gak jadi main aja yah sekarang? Panasnya ganteng banget nih…” katanya.
“Iya gue juga udah leleh ni,” jawabku. “Gue ngerasa otak gue ada yang nguap deh. Panasnya bikin lemes banget.”
“eL eE Be Aa Ye,” balas temanku.
Gak sopan. Rutukku dalam hati. Aku lalu meletakkan ponselku. Baiklah, aku gak jadi pergi. Aku pulang naik kereta jam 6 aja lah. Aku lalu mengambil ponselku lagi untuk melihat sisa tiket yang tersedia. Masih ada 3 subclass yang available berarti kursinya masih banyak. Okelah, kalo gitu mah. Aku bisa tidur siang dulu. Nanti jam setengah 3 kita cabut ke Gambir.
Perjalanan dari Pondok Gede ke Gambir, sebenarnya itu adalah PR tersendiri. Naik taksi lewat toll tetep bisa kena macet. Aku pernah naik taksi dari situ ke Gambir memakan waktu hampir 2 jam. Naik ojek juga pegel. Naik KRL bisa sih lebih cepat. Ntar dari rumah ke stasiun Buaran dulu naik ojek, trus naik KRL ke stasiun Juanda, trus kalo mau jalan kaki ke stasiun Gambir. Ih kenapa sih KRL gak berhenti di stasiun Gambir?
Lagi sibuk berangan-angan, Simbah bertanya lagi aku balik ke Bandung naik apa. Sepertinya beliau ngeh kalau aku gak jadi main. Ketika kuutarakan lagi kalau aku mau naik kereta, simbah kemudian menyarankan naik travel.
 “Ah, susah kamu naik kereta harus ke Gambir,” Komentar Simbah. “Jauh. Jalannya kesana gak cukup sejam. Mbok naik travel aja. Berangkatnya dari jalan Jatiwaringin situ.”
Aku lalu manyun. Naik travel coba? Lewat jalan toll itu…. Tiba-tiba aku teringat ketika macet di jalan toll Cipularang yang bikin aku bete.
“Naik travel lewat jalan toll itu donk,” Kataku.
“Ya iya, masak mau terbang?” timpal Simbah.
Aku masih manyun tidak mau menyetujui ide simbah. Tapi masalah Gambir itu jauh memang begitulah adanya.
“Ayo Tak anter ke agen travelnya,” kata Simbah sambil mencari kunci kendaraan.
Eh, Simbah…. Kan aku belum bilang iya. Tapi dari sikap beliau, aku menyimpulkan aku harus setuju dengan ide beliau untuk ke Bandung naik travel.
“Ya Mbah, ntar saya telpon dulu agen travelnya,” Kataku.
“Sekarang. Ini udah siang,” perintah Simbah.
Setauku, ada dua agen travel ke Bandung di Jatiwaringin. Baraya travel dan Xtrans travel. Aku lalu mencari nomor telepon kedua agen travel tersebut di google. Setelah dapat, pertama aku menelpon Baraya travel. Seingatku ada agen Baraya travel di Cimareme, dekat tempatku tinggal di Padalarang. Setelah dihubungi ternyata, agen yang di Jatiwaringin itu travelnya mengantar sampai Surapati Core, di Bandungnya. Kalau mau ke Cimareme, harus ke agen yang di Sarinah, daerah Jakarta Pusat. Ah, kalo harus ke Sarinah mah mending ke Gambir sekalian, naik Kereta jelas. Kalo yang ke Surapati Core, dari Surapati Core ke Padalarangnya gimana coba? Surapati Core ada dimana aja gak ngerti.
Aku kemudian menelpon Xtrans. Agen Xtrans yang di Jatiwaringin mengantarkan sampai MTC dan Cihampelas. Aku lalu berfikir, boleh juga lah ke MTC trus nanti numpang tidur di Riung Bandung, di rumah kakak sepupuku, baru pagi-pagi buta balik ke Padalarang. Seperti biasa. Saat mau pesan ternyata pemesanan tidak bisa lewat telepon.
Aku kemudian diantar Simbah ke agen Xtrans yang di Jatiwaringin. Ternyata yang untuk tujuan MTC sudah habis. Yang tersisa tinggal tujuan Cihampelas. Tiba-tiba aku ingat kalau ada agen Xtrans yang di BSM. Lumayan deket lah kalau dari Riung ini.
“Mas, kalau yang ke BSM, bisa disini gak?”tanyaku.
“Gak bisa, Mbak. Kalau yang di BSM dari Xtrans yang di Menteng,” Jawab Masnya.
Di Menteng coba?
Aku lalu terdiam agak lama. Dari Cihampelas ke padalarang naik apa yah?
“Udah lah, emang kalau di Cihampelas kenapa sih? Cihampelas tengah kota kok. Masak gak bisa nyari jalan pulang? Kamu ke Menteng dari sini susah! gak cukup sejam,” sahut Simbah.
Aku hanya menggaruk kepala. Emang dari tengah kota ke Padalarang cukup sejam?
“Iya, Mbah,” kataku pada akhirnya.
Aku lantas membeli tiket ke Cihampelas yang berangkat jam 5 sore sambil berdoa semoga Tuhan memberi berkah pada cucu yang menurut pada Simbahnya ini.
Perjalananku sore itu ternyata cukup menyenangkan. Jam setengah 5, aku sudah berangkat ke agen travel dan persis jam 5 kami berangkat ke Bandung. Perjalanan sangat lancar tanpa ada kemacetan yang aku khawatirkan hingga tepat jam 7 malam kami sudah masuk gerbang toll Pasteur. Wah, kayaknya ini berkah jadi cucu berbakti.
“Ih asyik banget naik travel ternyata….” Kataku.
“Ini mah kebetulan. Neng,” Kata pak supir. “Biasanya juga paling jam setengah 8 an masuk sini.”
Travel kemudian berhenti di agentnya di jalan Cihampelas. Aku kemudian turun dan naik angkot ke stasiun besar Bandung untuk melanjutkan perjalanan ke Padalarang dengan kereta lokal. Persis ketika aku masuk rumah, Simbah menelponku menanyakan posisiku.
“Udah sampe di rumah, Mbah,” jawabku. “Alhamdulillah perjalanannya lancar.”
“Naik travel enak kan?” tanya simbah. “Dari sininya juga enak. Gak harus lari-larian ke Gambir.”
“Iya, Mbah,” jawabku.
Ya berhubung gak macet sih, naik travel jadi asyik-asyik aja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline