“Jadi Bu, bagaimana kata dokter?” tanyaku pada pasien yang menderita gestasional diabetes (diabetes selama kehamilan).
“Saya gak boleh puasa, Mbak,” Jawabnya. “Tapi saya kalau gak puasa berat nggantinya.”
“Nah, ini demi kebaikan ibu dan janin. Sebaiknya ibu memang tidak berpuasa dahulu. Kan kondisi ibu juga adalah kondisi yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Sebagai gantinya ibu membayar fidyah.” Kataku.
“Bayar fidyah sih iya. Tapi yang namanya hutang puasa tetep.” Kata si Ibu.
“Oh, bukannya fidiyah itu pengganti puasa Bu? Kalau sudah bayar fidiyah, tidak perlu mengganti puasa lagi kan?” kataku sok tau.
“Enggak dong Mbak. Hutang puasa itu tidak bisa digantikan dengan membayar fidiyah. Fidiyah tetap dibayar oleh orang yang tidak puasa tetapi hutang puasa tetap harus dibayar dengan puasa. Itu bisa jadi hutang sampai mati.” Kata si ibu dengan semangat berapi-api padahal tadi kelihatan lemas.
Aku jadi terkejut mendengar kata-kata si Ibu. Saat itulah, sebagai konselor obat, sepertinya aku harus juga memperdalam ilmu agama.
***
Sebetulnya bagaimana kejelasan hukumnya?
Aku kemudian browsing mengenai hal ini. Dari lampuislam.org, diceritakan bahwa Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.“
Dalam web tersebut diceritakan pula bahwa ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban mengganti puasa di hari lain. Ada yang bilang bahwa wanita hamil itu saat sudah tidak hamil masih mampu untuk mengganti puasa maka dia harus mengganti puasa sejumlah hari yang ditinggalkannya. Sebagian orang lainnya bilang bahwa bisa wanita hamil hanya membayar fidyah. Ada lagi yang bilang bahwa wanita hamil harus membayar fidiyah dan mengganti puasanya. Berarti kesimpulanku, kembali lagi pada keyakinan masing-masing orang.