“Ta, kamu ada nyerahin Xanax gak pagi ni?” tanya kepala unitku.
“Ada, Bu.” Jawabku.
“Kamu bilang itu obat apa?” tanya kepala unitku penuh selidik.
“Karena pasiennya bilang dia susah tidur, ya saya bilang itu obat tidur.” Jawabku.
“Itu resep dokter siapa?” tanya kepala unitku lagi.
“Dokter spesialis jiwa.” Jawabku.
“Bukan dokter penyakit dalam?” tanya kepala unitku lagi.
“Emang dokter penyakit dalam udah praktek?” tanyaku balik. Saat itu jam 10 pagi dan aku memang belum melihat resep dari dokter penyakit dalam pagi itu. Lagipula, dokter penyakit dalam biasanya praktek mulai jam 11.
Kepala unitku lalu bercerita bahwa dokter penyakit dalam marah padanya. Pasiennya mengalami nyeri perut hebat lalu diresepkan obat Xanax yang maksudkan untuk relaksan otot perut. Menurut dokter itu, pasiennya kembali ke dokter karena masih sakit perutnya dan saat ditanya, pasien tidak meminum obatnya karena diberitahu obat yang diberikan adalah obat tidur.
“Kalau saya selalu saya tanya pasiennya kenapa kalau nyerahin obat, Bu. Lagian saya ni baru datang tau Bu…” kataku tersinggung.
Malam harinya, aku lembur dan mendapat telpon dari pasien. Dia berkata bahwa dia siang ini ke dokter penyakit dalam karena nyeri perut dan mendapat obat Xanax. Dia browsing di internet dan mendapat informasi bahwa Xanax adalah obat tidur dan sering diresepkan oleh psikiater. Dia bertanya kenapa dia mendapat obat itu padahal dia tidak memiliki gangguan tidur apalagi gangguan jiwa. Dan awalnya, dia berkeras tidak mau meminum Xanax yang didapatnya. Aku lalu berusaha menjelaskan bahwa obat Xanax yang dia dapat dimaksudkan untuk digunakan sebagai relaksan otot perut.