Lihat ke Halaman Asli

Meita Eryanti

TERVERIFIKASI

Penjual buku di IG @bukumee

Beneran Obat Generik Itu Sama dengan Obat Bermerek? They Are Same in Way That Matter

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saat aku sedang duduk dengan galau, apakah aku akan membeli makanan ringan untuk camilan di kos atau tidak, di depan minimarket yang ada di dalam rumah sakit tempatku bekerja, aku mendengar percakapan 2 orang ibu-ibu pengunjung rumah sakit. Dari percakapan itu, aku menangkap bahwa mereka adalah teman lama yang seorang sedang menunggui saudaranya yang sedang dirawat inap sedang yang satu lagi ingin memeriksakan diri di dokter umum.

“Kalau ke dokter umum jangan ke dokter yang itu, Bu.” Kata ibu yang sedang menunggui saudaranya yang sakit. “Kalau sama dia ntar dikasihnya obat-obat generik yang modelnya obat-obat lepas.”

“Masak sih, Bu?” tanya ibu yang satu lagi.

“Iya. Aneh kan? Makanya… Orang kita berobat ke rumah sakit mahal masak dapetnya obat-obat puskesmas.”

Aku lalu mengeluarkan ponselku untuk menutupi senyumku. Bukan… aku tidak mau meledek siapapun. Hanya saja, aku tau siapa dokter yang dimaksud. Dokter umum ini selalu memberikan obat generik pada pasiennya. Beberapa obat yang dipakai adalah obat yang dari distributornya dijual 1 botol berisi 1000 tablet. Dan itu kadang membuat kami yang menyiapkan obatnya jadi agak mengeluh, “Heduh, ngitungin obat ginian coba.”

Beberapa hari yang lalu, aku menyerahkan obat pada seorang asing yang habis berobat di dokter spesialis THT. Agak aneh untukku karena biasanya dokter ini memberikan obat merek tertentu untuk sebuah antibiotika. Tetapi pada orang asing ini, dokter spesialis THT itu memberikan obat generik.

Selesai aku menjelaskan obat yang orang asing itu dapat, orang asing itu lalu bertanya padaku, “Is the medicine is the generic one?”

Aku lalu menanggapi, “Yes. Do you ask for the generic medicine to your doctor?

Yes. I always get the generic medicine from my doctor in United State. And my friend said to me I must ask for the generic medicine if I want to get them from Indonesian doctor.” Jawabnya.

Dan aku hanya tersenyum menanggapi kalimat terakhir dari orang asing ini.

Obat generik adalah obat yang tidak memiliki merek. Obat ini dinamai sama dengan nama zat aktifnya.

Buatku, tidak ada yang salah dengan dokter umum di rumah sakit mahal meresepkan obat generik pada pasiennya. Karena dokter umum yang lain juga memberikan obatnya sama aja, hanya kalau dokter umum yang lain memberikannya dalam bentuk merek tertentu. Bukan obat generik yang diidentikan dengan obat puskesmas oleh ibu dalam ilustrasi tadi. Tetapi zat aktif obat yang mereka dapatkan, sebenarnya sama saja. Itulah kenapa orang asing tadi, meminta diresepkan obat generik pada dokter yang memeriksanya.

Aku menemukan sebuah paragraf menarik dari blog hadieabdoel.wordpress.com dengan artikel berjudul Sosialisasi Obat Generik for Dummies. Kutipannya sebagai berikut, “ada tipe pasien yang melihat fasilitas kesehatan sebagai cerminan status sosial. Seperti contoh teman saya diatas, bercerita kalau untuk sakit batuk saja harus keluar biaya tiga ratus ribu, tersirat kebanggaan bahwa harga sejumlah itu pantas untuk orang dengan status sosial tertentu. Tipe pasien ini sering dijumpai di paviliun mewah di rumah sakit umum. Sakit flu saja minta bed rest di paviliun. Kalau biaya rawat inapnya saja mahal, beli ObatGenerikBerlogo(OGB) tentunya juga gengsi. Yang demikian memang akibat timbul dari mindset kalau ObatGenerikBerlogo(OGB) memang obat yang khusus tercipta bagi orang miskin.

Mungkin, ibu yang aku curi dengar pembicaraannya adalah tipe pasien seperti itu. Tetapi, ada juga orang yang tidak mau menggunakan obat generik karena tidak percaya dengan kualitasnya. Sulit untuk dibayangkan bahwa suatu barang kualitasnya bisa sama dengan barang yang harganya bisa sampai 1/3nya.

Karena alasan gengsi dan tidak percaya itulah menurutku, mengapa tingkat penggunaan obat generik masih saja berada di angka 11% padahal sosialisasi penggunaannya sudah sejak tahun 1989 hingga tahun 2013. Sebetulnya, obat generik itu apakah benar-benar sama dengan obat bermerek?

Sebenarnya sih, obat generik dan obat bermerek tentu tidak akan sama identik bagai bayi kembar. Mereka memiliki harga yang berbeda, warna, ukuran, bentuk, kemasan yang berbeda, dan zat-zat tambahan pembentuk obat yang berbeda. Tapi apakah mereka sama soal kualitas?

Aku membaca beberapa penelitian perbandingan obat generik dan obat bermerek yang dapat aku akses lewat google scholar. Ada obat generik yang memang memiliki kualitas yang sama dengan obat bermerek sehingga obat generik ini layak untuk disandingkan dengan obat bermerek walaupun harganya lebih murah. Tetapi, ada juga obat generik yang memiliki kualitas yang lebih rendah dengan obat bermerek walaupun masih memenuhi standar minimal kualitas yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia.

Di Amerika saja, Jeremy Greene, seorang ahli sejarah obat-obatan, di websitenya mengatakan adalah hal yang sulit untuk sebuah obat generik yang memiliki harga lebih murah menyamai sebuah produk bermerek yang harganya jauh lebih mahal. Apalagi di Indonesia. Kami orang Jawa punya sebuah pepatah yang berbunyi, “ana rego ana rupa.” Tetapi dari sebuah artikel di Medscape.com aku mendapat informasi bila FDA (badan pengawas obat dan makanan milik Amerika) mensyaratkan obat generik paling tidak bisa menyamai 80% dari kualitas dari obat bermerek.

Secara farmakologi, mengenai bagaimana obat itu bekerja dalam tubuh manusia, seharusnya sih pasti sama karena zat aktif yang digunakan sama. Hanya saja, dengan zat-zat tambahan pembentuk obat yang berbeda, obat generik dan obat bermerek memiliki kecepatan kerja yang berbeda. Itu tidak bisa dipungkiri. Dan kecepatan kerja itu lah yang membedakan kualitas obat generik dengan obat yang bermerek. Obat yang bermerek memiliki dana yang cukup untuk mengembangkan teknologi produknya. Sedangkan obat generik, dia memiliki harga jual tertinggi yang ditetapkan pemerintah sehingga pemilihan zat tambahannya pun mungkin jadi terbatas.

Sehingga, wajar bila ada orang yang tidak percaya dengan kualitas obat generik. Tetapi obat generik bukan obat untuk orang miskin. Menggunakan obat generik tidak akan menurunkan status sosial siapapun. Toh nyatanya orang bule juga kalo ke dokter ada yang minta obat generik.

Dalam artikel ini, aku sih tidak berniat menjelek-jelekkan obat generik. Hanya saja, aku memberi pandangan bahwa obat generik tidak sama dengan obat bermerek. They are same in way that matter. Mereka sama dalam hal yang penting, kekuatan obat generik dengan obat bermerek yang sepadannya tentu saja sama. Cara kerja obatnyapun sama karena zat aktifnya kan sama. Tetapi, obat bermerek memiliki kemasan yang lebih menarik dan menggunakan zat tambahan yang berbeda dengan obat generik.

Untuk pengobatan yang bersifat rutin atau sakit yang tidak sampai mengancam jiwa, tentu obat generik bisa digunakan untuk menggantikan obat bermerek yang mahal. Tidak perlu gengsi, toh pengobatannya malah jadi jauh lebih murah sehingga kita bisa menghemat biaya pengobatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline