Aku melihatmu dengan mata terpejam, ingatan yang terus berdesakan seperti meminta pulang, burung-burung meninggalkan sarang, dan kita masih terhenti di ujung kelokan jalan, menyaksikan sepi dengan bibir terkunci.
Kita telah kehilangan cerita pagi, embus angin yang dibawa musim, teriakan bocah-bocah di atas rerumputan atau para perempuan yang menjajakan sarapan. Sedang pelukis dan lelaki pencinta hujan sibuk menepi dan mengkuyubi diri dengan air mata yang sudah tak berenergi.
Aku tetap membangun gelap di dua mata ini, saat nama-nama menjadi situs kelam dalam panggilan, pelan-pelan hilang. Patutkah kusebut engkau; kekasih. Saat jari-jari kita menjadi isapan memory, mendekap luka, lalu, melambaikan tangan dengan paksa.
Aku memang memandangmu dari kejauhan, saat kaki kita bersimpangan, menghela ribuan sesal. Engkau telah jauh berjalan, aku mencoba berdiri dari ketaksanggupan. Aku akan terus melihatmu, sepanjang waktu yang tak sempat kutanyakan pada Tuhan.
Madura, 060420
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H