Lihat ke Halaman Asli

Meisya Zahida

Perempuan penunggu hujan

Puisi | Ketika Gulita

Diperbarui: 2 Maret 2020   18:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ketika gulita, ingin berkabar padamu, di setiap gelap diantar remang
Senja telah rebah di keutuhan malam, kau pasti tak melewatkan, seperti aku melepas terang.
Bagiku, senyap tetaplah rayuan diam tiada luput dari kesendirian.
DenganNya, kita tak dikecualikan. Sama-sama disertakan dalam catatan.
Aku tak berdaya, seperti engkau yang tak bisa berdusta.

Ingin kuceritakan padamu, ketika gelap menandai penglihatan.
Cahaya terenggut tiba-tiba, meraba-raba dalam pencarian, namaNya terang di dada, namamu pudar tiada sisa.
Apakah arah tetap ke depan sedang raga berbalik haluan?

Ketika gulita melanda jiwa, aku memeram sakit yang kentara.
Lukakah yang kau toreh di lebam wajah, atau sesal; terlambat aku mengakuinya. Kau pasti lupa setiap sakit ada penawarnya, yaitu, doa-doa yang selalu membuatku berharga, aku tak kan kesepian karena denganNya aku melewati perbatasan dunia yang satu kalipun tak kau kenalkan sebelumnya.

Dalam terang yang kubuat gelap, adalah keangkuhanmu selalu kutangkap.
Angin yang bersahabat, dering berita tercepat.
Mengukuhkan apa yang kubisa dalam kenaifanmu; tak pernah kau menyadarinya.
Kan kubiarkan engkau tersesat, tapi, akan kembali ke dalam kotaku yang beralamat.

Catatan, Meisya




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline