Lihat ke Halaman Asli

Meistra Budiasa

Pemerhati Budaya dan Media

SBY dalam Kebudayaan Media

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belakangan ini seperti terjebak oleh slogan dan jargon kampanye politiknya mengenai pemberantasan korupsi. Partai yang didirikannya menghadapi badai korupsi yang dashyat sehingga menjadi polemik dalam perpolitikan internal maupun eksternal, kadernya seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh telah jadi tersangka dalam kasus korupsi wisma atlet. Sedangkan beberapa nama lainnya seperti ketua umum Anas Ubaningrum tersangkut juga namanya pada kasus ini. Kasus korupsi tersebut menjadi semakin seksi dibicarakan oleh media karena partai ini dalam salah satu iklan kampanye politiknya menggunakan jargon anti korupsi dengan menampilkan sosok petinggi partai tersebut. Permasalahan ini kemudian menjadi sangat ramai dibicarakan dalam media khususnya televisi bukan hanya karena parta Demokrat sebagai pemenang pemilu melainkan juga sosok SBY yang menjadi ikon dari berdirinya partai tersebut.

Sosok SBY dalam kancah perpolitikan di Indonesia menjadi fenomena bagi dunia media komunikasi, karena dirinya sering dicitrakan dalam beragam media sebagai sosok yang berwibawa dan cakap. Maka tidak mengherankan ketika banyak wanita terutama ibu rumah tangga menjadi histeria ketika melihat SBY yang selalu tampil dalam televisi dengan ketampanan wajah serta prilakunya yang berwibawa. Hal ini seperti memberikan obat penyembuh bagi masyarakat yang sejak jatuhnya Soeharto tidak memiliki sosok pemimpin yang berwibawa, karena semenjak reformasi pemimpin negeri ini terkesan lemah dan tidak memiliki sosok yang begitu meyakinkan.

Beberapa presiden di Indonesia selama masa Reformasi selalu ditampilkan oleh media dengan lebih menonjolkan karakter lemahnya sebagai sosok pemimpin. Habibie yang seorang teknorat direpresentasikan dalam media sebagai sosok yang pintar dalam akademis namun tidak dalam bernegara, Gusdur seorang kyai yang demokratis dalam media dihadirkan sebagai orang yang suka humor, kontroversial, dan kurang sempurna kesehatannya sehingga yang ditampilkan hanya sosoknya yang demikiran tanpa esensi dari visi bernegaranya, dan Megawati di hadirkan dalam media sebagai seorang presiden wanita yang lemah dan sering menangis. Dari representasi media pasca Soerharto jatuh tersebut figur pemimpin bangsa ini terlihat tidak ada yang berwibawa sehingga SBY dijadikan momen oleh media sebagai sosok yang dapat merubah persepsi itu .

SBY dalam sorotan media

Semenjak pemilu 2004 pemberitaan mengenai SBY mewarnai beragam media di Indonesia. Koran, radio, dan televisi tidak berhenti memuji dirinya yang terlihat memiliki kecakapan dalam memimpin serta berasal dari kalangan militer. Media kemudian merepresentasikan beliau melalui beragam foto ataupun kegiatan yang melegitimasi bahwa SBY sudah pantas memimpin Indonesia yang kala itu masih mengalami kebimbangan dalam kehidupan transisi demokrasi. Momentun pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali diadakan semenjak reformasi pada tahun 2004 membuat SBY semakin populis dan berhasil memimpin negeri ini bersama wakilnya saat itu Jusuf Kalla. Kebijakan pemerintah kemudian menjadi sorotan media, secara berkesinambungan media mencitrakan bahwa presiden SBY telah berhasil membawa Indonesia menuju perubahan. Kritikan media kemudian mulai berkembang ketika istana mewajibkan para jurnalis yang ingin meliput kegiatan kepresidenan harus  mengenakan pakaian jas dan blazer. Namun yang tidak kalah menariknya yaitu ketika tindakan Jusuf Kalla dalam beberapa kebijakan dan kesempatan lebih cepat dari dirinya, mediapun saat itu mulai membahas karater presiden yang lambat laun terlihat seperti bergerak lamban. Disaat itulah media mulai membandingkan SBY dengan wakilnya yang bergerak lebih cepat apalagi saat itu banyak bencana alam yang terjadi seperti tsunami Aceh, gempa Jogja dan Padang.

Sorotan media yang begitu aktif memberitakan pemerintahan SBY membuat segala tindakan nya mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan hanya beliau seorang sosok presiden melainkan karena sejak awal media telah mencitrakan dirinya sebagai sosok pemimpin yang hangat dan menjadi harapan masyarakat. Tetapi satu persatu permasalahan disekitar dirinya mulai menjadi komoditas media mulai dari kasus korupsi besannya yakni Aulia Pohan, kasus Antasari Azhar, Bank Century dan yang paling terbaru adalah skandal korupsi ditubuh partainya. Selama 8 tahun pemerintahan SBY berjalan baik bersama Jusuf Kalla ataupun Boediono media sangat detail dan begitu mendalam memberitakan jalannya roda pemerintahan. Ada yang mendukung serta tidak sedikit yang mengkritisi secara terbuka dalam beragam ruang media, SBY seperti menjadi tontonan dalam media karena setiap tindakannya selalu menarik untuk menjadi bahan berita. Meski ini mungkin adalah kerja dari para konsultan media disekitarnya tetapi yang jelas beliau telah menjadi konsumsi media dalam ranah politik.

Televisi, radio, film, serta produk budaya media lainnya merupakan sarana untuk seseorang merepresentasikan identitasnya, kediriannya, gagasaannya atau bahkan kelas, ras, kebangsaan dan etnisitasnya. Media kemudian membantu untuk membentuk pandangan kita terhadap sesuatu hal yang baik atau buruk, positif atau negatif serta bermoral dan tidak bermoral. Dengan media pula kita dipertontonkan hal-hal diatas sehingga persepsi terhadap sosok seseorang tergantung dari bagaimana media itu merepresentasikannya. Para jurnalis mungkin hanya menyajikan sebuah fakta yang ada atau mungkin para konsultan-konsultan komunikasi mempunyai akses yang luas kepada media sehingga wartawan disuguhkan sebuah konsumsi informasi yang telah dikonstruksi sebelumnya.

Budaya media dalam konstentasi politik

Budaya media menurut Douglas Kellner (1996), menunjuk pada suatu keadaan di mana tampilan audio dan visual atau tontonan-tontonan telah membantu merangkai kehidupan  sehari-hari, mendominasi hiburan, membentuk opini politik, dan prilaku sosial, hingga memberi suplai materi untuk membentuk identitas seseorang. Kellner juga menyatakan bahwa budaya media merupakan area konstestasi di mana kelompok-kelompok sosial yang kuat dan ideologi politik saling bersaing berjuang untuk menjadi yang dominan, sedangkan masyarakat bisa ikut merasakan perjuangan identitas ini melalui imaji-imaji, wacana, mitologi, dan tontonan yang diketengahkan oleh media. Kemudian lewat narasi, adegan, dan gambar yang ditampilkan sosok seseorang akan terlihat akan lebih dekat dengan masyarakat atau bahkan menjadi sensasi tersendiri bagi audiens yang menontonnya.

Pernyataan diatas sepertinya terjadi pada diri SBY, di mana melalui media beliau mencoba mencitrakan dirinya sebagai sosok yang layak memimpin negeri ini namun di sisi lain media dengan segala kepentingan ekonomi politiknya juga menyerang gaya kepemimpinannya. Sedangkan audiens hanya menjadi penonton yang menikmati sensasi-sensasi narasi yang ditampilkan dalam media khususnya televisi. Sementara banyak pekerjaan rumah dalam negeri ini yang masih belum terselesaikan membuat permasalahan semakin menumpuk dan masyarakat juga semakin berteriak karena kebutuhan hidupnya yang makin mahal.

Penulis adalah alumni mahasiswa kajian budaya dan media, universitas Gadjah Mada, Yogyakarta




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline