Lihat ke Halaman Asli

Meirad Arianza Bima

Mahasiswa prodi Ilmu Hukum di Universitas Asahan

Universitas dalam Belenggu

Diperbarui: 9 November 2024   07:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Di tengah gemerlap gedung-gedung kampus yang menjulang dan janji-janji mobilitas sosial yang didengungkan, tersembunyi sebuah realitas kelam yang jarang terungkap. Universitas modern, yang seharusnya menjadi mercusuar pencerahan dan pembebasan intelektual, telah bertransformasi menjadi pabrik tenaga kerja yang efisien bagi mesin kapitalisme global. Menara gading yang dulunya menjadi simbol pencarian kebenaran kini telah dikooptasi menjadi instrumen reproduksi ketimpangan sosial dan hegemoni ideologis. Artikel ini akan membongkar lapisan demi lapisan kontradiksi yang melekat dalam sistem pendidikan tinggi kontemporer, mengekspos bagaimana logika kapital telah menggerogoti fondasi pendidikan dan menunjukkan jalan menuju pembebasan yang sejati.

Alienasi

Alienasi, konsep fundamental dalam pemikiran Marxis, menemukan manifestasinya yang paling ironis dalam ruang akademik kontemporer. Di tempat yang seharusnya menjadi arena pembebasan pikiran, kita justru menemukan bentuk-bentuk keterasingan yang begitu mendalam. Dosen, yang seharusnya menjadi fasilitator pengetahuan, mengalami alienasi ganda: pertama dari proses pengajaran mereka sendiri, dan kedua dari produk intelektual yang mereka hasilkan. Mereka dipaksa mengajar dalam kerangka kurikulum yang distandarisasi secara rigid, di mana kreativitas pedagogis harus tunduk pada tuntutan administratif dan metrik kinerja yang arbitrer.

Proses pengajaran, yang seharusnya menjadi momen dialektis antara pendidik dan peserta didik, telah tereduksi menjadi serangkaian prosedur mekanis yang dapat diukur dan dikuantifikasi. Interaksi genuine antara pengajar dan pembelajar digantikan oleh relasi transaksional yang steril, di mana pengetahuan diperlakukan sebagai komoditas yang harus ditransfer secara efisien. Dosen kehilangan kendali atas proses kreatif mereka sendiri, sementara hasil penelitian mereka diambil alih oleh sistem jurnal akademik berbayar yang membatasi akses pada pengetahuan yang mereka hasilkan.

Komersialisasi

Transformasi pengetahuan menjadi komoditas bukanlah sekadar fenomena sampingan, melainkan merupakan konsekuensi logis dari penetrasi kapital ke dalam ranah pendidikan tinggi. Universitas modern telah bermetamorfosis menjadi korporasi pendidikan yang beroperasi dengan logika pasar. Dalam rezim ini, riset tidak lagi didorong oleh keingintahuan intelektual atau kepentingan publik, melainkan oleh kalkulasi return on investment dan potensi komersialisasi.

Monetisasi pengetahuan ini memiliki dampak mendalam pada orientasi dan struktur universitas. Departemen dan program studi dievaluasi berdasarkan profitabilitas mereka, bukan berdasarkan kontribusi intelektual atau sosial. Riset-riset kritis yang mempertanyakan status quo sistematis dimarginalkan, sementara penelitian yang menjanjikan paten atau kerjasama industri mendapat dukungan berlimpah. Bahkan proses pembelajaran pun tidak luput dari logika ini -- kelas-kelas didesain untuk memaksimalkan efisiensi, dengan mengorbankan kedalaman interaksi dan eksplorasi intelektual.

Hierarki dan Otoritarianisme

Di balik retorika kesetaraan dan meritokrasi akademik, universitas modern mempertahankan dan mereproduksi struktur kekuasaan yang secara mendasar bersifat otoritarian. Hierarki akademik, yang seringkali dilegitimasi melalui wacana "keahlian" dan "senioritas", pada praktiknya berfungsi sebagai mekanisme kontrol yang mempertahankan status quo dan membungkam suara-suara kritis. Dosen senior, yang seringkali telah terasimilasi sepenuhnya ke dalam sistem, bertindak sebagai penjaga gerbang yang memastikan reproduksi nilai-nilai dan praktik-praktik yang menguntungkan kelas dominan.

Otoritarianisme ini memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk kekerasan simbolik dan material. Mahasiswa dipaksa menerima "kebenaran" yang didefinisikan oleh otoritas akademik, sementara pemikiran kritis yang mempertanyakan asumsi-asumsi dominan secara sistematis dimarginalisasi. Kultur "dosen selalu benar" bukan sekadar anomali individual, melainkan merupakan bagian integral dari sistem yang dirancang untuk memproduksi subjek yang patuh dan tidak mempertanyakan tatanan sosial yang ada.

Standarisasi dan Dehumanisasi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline