Lihat ke Halaman Asli

Eksplorasi Kearifan Lokal terhadap Suku Kajang dalam Keberagaman Budaya di Sulawesi

Diperbarui: 14 Desember 2023   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

  • Sistem Religi dan Upacara Keagamaan 

Masyarakat Suku Kajang pada umumnya menganut ajaran agama islam, namun mereka memiliki sistem kepercayaan yang disebut Patuntung, yang mencakup sistem kepercayaan, sistem ritus dan norma sosial. Sistem kepercayaan ini merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Kajang, meliputi keyakinan terhadap Tuhan, kehidupan ghaib, serta sistem nilai dan norma moral. Sistem kepercayaan ini mencakup keyakinan kepada Tuhan, alam, dan manusia. Masyarakat Kajang yang tinggal di daerah terpencil di Sulawesi, Indonesia memiliki beberapa ritual atau upacara keagamaan yang unik, salah satunya Andingingi, yaitu upacara yang dilakukan untuk memohon hujan kepada yang maha kuasa, memohon keberkahan, kedamaian, dan perlindugan dari marabahaya. Ritual penting lainnya adalah Nganre Sassang di mana masyarakat Kajang mempersembahkan makanan kepada bayangan mereka sendiri, mereka percaya bahwa makanan tersebut merupakan warisan leluhur yang suciyang bertujuan untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan.

  • Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan 

Suku Kajang terletak di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Daerah tersebut disebut juga Tanah Toa atau Tanah yang Tertua”. Hal ini dikarenakan masyarakat Kajang mempercayai bahwa daerah tersebut adalah tanah tertua yang diciptakan Tuhan. Suku Kajang dibedakan menjadi dua, yaitu Kajang Luar dan Kajang Dalam. Kedua bagian ini memiliki kepercayaan, adat istiadat, dan kebudayaan yang sama. Namun, perbedaannya Suku Kajang Dalam lebih kental akan kepercayaan, adat istiadat, dan kebudayaannya. Masyarakat Kajang masih sepenuhnya berpegang teguh kepada adat Ammatowa. Pada Komunitas Ammatoa Kajang (KAK) hubungan kekerabatan tampak jelas pada pengaturan massa pada pengaturan ruang dan tatanan massa rumah mereka (Bugisposonline, 2011). 

Pada Komunitas Ammatoa Kajang (Kajang dalam), terdapat sekumpulan masyarakat yang selalu mengenakan pakaian hitam dalam keseharian mereka dan pemimpin mereka disebut Ammatoa, dimana Ammatoa ini menjadi pimpinan yang sangat mereka hormati dan ikuti setiap apa yang menjadi keputusannya.kekuasaannya absolut melingkupi kebijakan dalam bidang adat, pemerintahan, dan aturan agama. Ammatoa merupakan gelar yang diberikan kepada seseorang yang pantas untuk menjadi pemimpin. Kriteria yang paling penting dari seorang Ammatoa ialah orang yang jujur, tidak pernah menyakiti, menjaga diri dari perbuatan jahat, tidak merusak alam, serta senantiasa mendekatkan diri kepada Turae Ra’na. Jadi, gelar Ammatoa ini didapatkan dari petunjuk Tuhan dan memenuhi syarat yang ada sehingga mendapatkan jabatan Ammatoa. Komunitas Ammatoa Kajang (KAK) juga mengenal adanya pelapisan sosial, tetapi dalam kehidupan sehari-hari secara fisik tidal terlihat adanya tanda-tanda pelapisan sosial misalnya dalam hal desain dan dimensi rumah, semua relatif sama. Sistem pelapisan sosial ini sangat ditentukan oleh tingkat “kesholehan” yang bersangkutan yang telah menguasai penuntun (Patunyung) yakni berupa pesan-pesan leluhur (Pasang Ri Kajang), baik dalam pemahaman substansi maupun wujud kehidupan sehari-hari.

  • Sistem Pengetahuan 

Kamasae-masae merupakan ajaran tentang kehidupan yang masih (berlabuh) di Suku Kajang. Kamasae-masae mengajarkan masyarakat Kajang untuk hidup sederhana dan melestarikan lingkungan alam untuk menjaga kehidupan masyarakat. Selain itu, Kamasae-masae juga mengajarkan untuk jujur, selalu mengendalikan nafsu, tidak merugikan orang lain, dan tidak materialistis, karena sikap materialistis dapat berakibat buruk bagi kehidupan. Gaya hidup sederhana ini adalah bentuk perlawanan terhadap materialistis yang ada sehingga tetap menjunjung tinggi etika dan moralitas.  

  • Bahasa 

Suku kajang menggunakan bahasa Konjo dalam berkomunikasi, bahasa Konjo hampir mirip dengan Bahasa Makassar namun terdapat perbedaan dalam dialek atau aksen. Mulai dari Kecamatan Kajang hingga ke Kecamatan Bontobahari tepatnya di Bira, masyarakat menggunakan bahasa Konjo. Masyarakat Konjo dalam tidak pernah merasakan bangku pendidikan secara formal. Maka, sulit ditemukan masyarakat yang mampu berbahasa Indonesia. 

Kearifan lokal yang menarik dari suku Konjo adalah pasang. Pasang digunakan sebagai pedoman hidup masyarakat pemimpin adat suku Kajang (Ammatoa) yang merupakan warisan dari leluhur. Pasang adalah sebuah bahasa yang berbeda dengann bahasa sehari-hari yang mengan simbol-simbol tertentu. Pasang sendiri adalah pesan lisan yanng wajib untuk dipatuhi yang apabila tidak dipenuhi akan menimbulkan akibay-akibat yang tidak diinginkan.

  •  Kesenian 

Di Suku Kajang, ada sebuah tarian yang bernama Pa’bitte Passapu. Yang melatar belakangi tarian ini yaitu dulunya masyarakat etnis Makassar (terutama kaum bangsawan) menggemari permainan sabung ayam karena ekspresi keberanian seseorang bisa tampak dari sabung ayam. Oleh karena itu, banyak anak raja dan pengawal istana terjun ke arena sabung ayam hanya untuk menunjukkan keberanian mereka, yang dibarengi dengan taruhan. Namun, setelah Islam masuk di Kerajaan Gowa yang menjadi induk kerajaan Makassar, sabung ayam perlahan-lahan dihilangkan. Sabung ayam dianggap sebagai judi, juga penyiksaan terhadap binatang. Masyarakat pun mencari 12 hal lain yang bisa diadu untuk menghibur diri sekaligus menyalurkan minat mereka. Makanya, terciptalah tarian "Pa'bitte Passapu" yang menyabung sapu tangan (passapu). 

Pada tarian ini, sapu tangan dianggap sebagai ayam yang disabungkan. Sekarang ini, Pa'bitte Passapu menjadi tarian untuk menjemput tamu adat atau acara pernikahan. Tarian ini dibawakan oleh empat orang penari laki-laki yang masing-masing memegang sepucuk sapu tangan seperti cara memegang ayam sabungan, kemudian keempat penari akan bergerak diiringi oleh tabuhan satu pasang gendang dan sebuah gong. Susunan gerak tari dimulai dengan memperkenalkan sabungan masing-masing sehingga para penari lebih banyak menghadap ke penonton dibagian tengah arena pertunjukan, lalu keempat penari terbagi dua dan saling berhadapan, dimana tahapan ini tarian sudah memperlihatkan gejala bahwa sapu tangan sudah akan diadu maka satu pasang. Kemudian saputangan diadu oleh kedua penari, mereka saling menabrakkan sapu tangan ke lawannya. Setelah bertarung beberapa saat lalu salah satu diantaranya terkalahkan, pasangan lain akan memasuki arena dan melakukan pertarungan. Setelah ada yang kalah maka pertarungan selesai dan tarianpun ikut berakhir. 

Selain itu, ada basing, yang merupakan pantun dalam meratapi kematian. Salah satu bentuk pantun milik suku Kajang di Sulawesi Selatan ini adalah nyanyian dan suling yang dimainkan oleh empat orang, dua orang pria memainkan suling Basing dan dua orang perempuan sebagai penyanyi. Seruling Basing yang digunakan terbuat dari bambu kecil berdiameter 3 sentimeter, panjang 50 sentimeter, yang terbuat dari bambu, biasa disebut bulo. Bulo ini digunakan sebagai alat musik karena tipis dan cocok untuk ditiup. Biasanya alat musik ini dipakai saat ritual oleh masyarakat Kajang, seperti musik menyayat hati pada saat orang Kajang meninggal. S Selanjutnya ada Tarian Tope Le’leng. 

Tope artinya sarung, sedangkan Le'leng artinya hitam, Tope Le'leng berarti sarung hitam. Sarung adalah perihal penting dalam kehidupan yang bermula di tengah hujan, adat, penghormatan, petuah-petuah dan segala hal yang patut dikenal oleh Suku Kajang. Bagi orang kajang, sarung adalah saksi kemanusiaan mereka yang paling seru, paling bisu, paling khusyuk, dan demi Turie A'ra'na atau Tuhan Sang Penguasa.

  • Sistem Mata Pencaharian Hidup 
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline