Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Kisah di Persimpangan

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kawanku seorang perempuan berusia 23 tahun baru saja putus dari kekasihnya yang sudah dua tahun berkomitmen. Dia bercerita dengan penuh penyelesalan. Kala itu kekasihnya meminta komitmen yang lebih, lalu kawanku meminta waktu berpikir. Sejenak sebelum ia meneruskan ceritanya, aku memotong ucapannya, “Jarang-jarang ada lelaki yang ingin lebih dulu berkomitmen.”

“Justru itu yang aku tangisi saat ini Meina,” katanya sambil mengusap air matanya.

Sebenarnya ketika kawanku menjalin hubungan dengan kekasihnya dia juga menjalin hubungan dengan orang lain. Tidak, tidak ada komitmen dengan pria lain itu, hanya saja sang pria begitu lihai memainkan benang asmara tarik-ulur dengan begitu indah, sialnya timbulnya rasa penasaran dari kawan perempuanku inilah yang membuatnya terus mencoba menghubungi pria asing itu.

“Aku katakan pada kekasihku bahwa aku tidak yakin dengannya. Di situlah akhirnya kami memutuskan untuk berpisah. Baginya untuk apa melanjutkan hubungan yang bahkan yang menjalani saja tidak merasa yakin.”

Suasana pun hening.

“Lantas, adakah hubungannya dengan pria asing itu?” tanyaku.

“Tentu.”

“Aku tak pernah melihatmu begitu antusias ketika bercerita tentang kekasihmu, justru ketika kau dikirimi boneka oleh pria asing itu, kau terlihat sangat bahagia. Anehnya, ketika aku bertanya tentang identitas kekasihmu, kau hanya menjawab sekadarnya. Namun, ketika kau bercerita tentang perjumpaanmu yang tak sengaja di Kediri dengan pria asing itu, kedua bola matamu semakin berbinar.”

“Lantas?”

“Ceritakan padaku, sesungguhnya hatimu telah memilih dan kadang yang menyadari siapa yang benar-benar kita cintai justru adalah orang lain.”

“Benar sekali Meina, kau telah menyadari hal itu. Sesungguhnya, aku adalah perempuan yang berselingkuh. Bahkan menjalin hubungan dengan pria yang tidak berhak aku cintai, lantas mengabaikan lelaki yang benar-benar mengharapkanku.”

“Apakah kau sudah jujur pada kekasihmu?”

“Aku sudah mengatakan padanya bahwa sesungguhnya selama ini aku berada di persimpangan jalan dan aku tak sanggup untuk menunggu. Tahukah kau Meina, perempuan yang hebat adalah ia yang sanggup menunggu dan mengabaikan rasa sepi. Sebab menunggu adalah kebenaran dari cinta. Iya, aku tak sabar untuk menunggu pria asing itu ketika kekasihku menyatakan cinta kepadaku dan sekarang aku tak mendapatkan siapa pun.”

“Maksudmu?”

“Setelah aku jujur pada kekasihku, dia sungguh tak marah sama sekali. Hanya saja dia berkata bahwa dia tak pernah menyesali apa pun yang terjadi, dia tak pernah membenciku.”

“Itu yang membuatmu menangis sampai saat ini?” tanyaku.

“Benar, ketika aku ingin memiliki pria asing itu, ternyata muncul kesalahpahaman dan Tuhan pun menjauhkan kami. Aku, kekasihku, dan pria asing itu mungkin tak mendapatkan siapa pun, tapi kami mendapatkan pelajaran. Kata kekasihku, setidaknya penantian ini menghasilkan sebuah keyakinan bahwa aku bukanlah perempuan yang akan ia nikahi.”

Mozaik 25052014

Thank DPN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline