Ilustrasi globalisasi digambarkan sebagai pembuka kesempatan baru bagi pasar tenaga kerja. Di lain sisi, sebagian masyarakat di lingkungan internasional menilai globalisasi tidak menyalurkan dampak yang signifikan, seperti yang dijanjikan para pemangku kepentingan. Eksistensi dari ketidaksetaraan, terutama pada pasar tenaga kerja, menunjukkan kecacatan globalisasi dalam meningkatkan standar kehidupan ekonomi dan sosial dari manusia. Bahkan, terdapat kemunculan isu sistemik baru pada faktor produksi ini.
Sebelum menuju ke pembahasan isu sistemik, kita harus memahami globalisasi dan indikator pasar tenaga kerja yang terpengaruh oleh globalisasi.
Globalisasi merupakan perwujudan dari pemangku kepentingan ekonomi liberal. Pengetahuan yang menguat pada masyarakat negara barat, menjadikan mereka berhasil merakit beragam teknologi. Teknologi yang dirakit pun menciptakan dinamika baru pada hubungan internasional. Selain itu, teknologi memiliki keterkaitan dengan penyebaran dan intensifikasi dari ekonomi, sosial, dan hubungan budaya lintas batas internasional. Keterkaitan tersebut membentuk konsep globalisasi.
Dimensi ekonomi menjadi fokus yang tepat untuk menganalisis dampak globalisasi terhadap isu sistemik pada pasar tenaga kerja. Globalisasi mempunyai potensi ekonomi, yang didukung dengan penganut liberalisme. Potensi yang dimaksud yaitu integrasi ekonomi dengan negara sebagai wadah dari produsen berbagai sektor. Seperti yang diketahui, integrasi ekonomi memprioritaskan pengurangan, bahkan penghapusan, hambatan internasional. Sebab diperkirakan peningkatan arus perdagangan, modal, dan migrasi antara negara, hambatan internasional menjadi pion yang harus disingkirkan. Akibatnya, produsen di berbagai negara menjunjung efisiensi dan efektivitas pada pemroduksian.
Tindakan produsen akibat globalisasi tersebut menciptakan rantai-rantai baru pada pasar tenaga kerja. Rantai tersebut dapat dilihat melalui kacamata Stolper Samuelson. Ketika hasil produksi industri manufaktur diimpor dari negara dengan upah minimum rendah, maka permintaan domestik untuk pekerja berketerampilan rendah berkuantitas kecil. Pada waktu yang bersamaan, permintaan untuk pekerja berketerampilan tinggi meningkat. Hal tersebut dapat disebabkan oleh peningkatan ekspor layanan intensif pengetahuan dengan intensitas tinggi. Sebagai catatan, kategori layanan ini mewakili keunggulan pada inovasi ekonomi. Lalu, ekspor layanan intensitas pengetahuan membutuhkan investasi dalam modal manusia, akumulasi modal tidak berwujud, dan kapasitas dalam mengatur hubungan serta jaringan komersial internasional. Kebutuhan dari ekspor tersebut merupakan kegiatan dengan nilai tambah tinggi pada sumber daya manusia. Nilai tambah tinggi sendiri berdampak positif pada kapasitas produksi negara. Inovasi teknologi di sektor jasa menghasilkan pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas pekerja. Dapat dikatakan, peningkatan produktivitas merupakan metode terbaik untuk mengarahkan perusahaan melaksanakan ekspor. Perusahaan yang mengekspor, umumnya, identik sebagai perusahaan yang paling inovatif dan lebih kompetitif. Bagi negara maju, posibilitas investasi kebutuhan ekspor layanan intensif pengetahuan akan terpenuhi.
Akan tetapi, negara miskin menghadapi rantai yang sulit diatasi. Kasus yang kemungkinan terjadi pada masyarakat negara miskin yaitu kuantitas pekerja berketerampilan tinggi tidak terpenuhi. Sebab, para investor asing tidak mampu melihat ketertarikan dari pasar negara miskin. Hal tersebut berdampak secara tidak langsung pada minimnya inovasi ekonomi. Di lain sisi, masyarakat negara miskin rentan akan ketidakselarasan pemahaman mengenai globalisasi ekonomi. Seperti yang diketahui, masyarakat negara miskin memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Ketidakselarasan tersebut mampu meningkatkan pekerja sektor informal. Peningkatan dapat dilatarbelakangi oleh kemudahan mengakses lowongan pekerjaan sektor informal daripada sektor formal (secara global maupun internasional). Tidak perlu membutuhkan kemampuan apapun, asal pekerja tersebut bersedia melakukan pekerjaan yang ada. Secara tidak langsung, masyarakat negara miskin serta pekerja sektor informal rawan dieksploitasi. Tidak ada hasil yang dapat dibanggakan jika pekerja mengalami eksploitasi. Apabila tidak diseimbangi dengan upaya perbaikan kondisi ekonomi dan politik dalam negeri, maka isu sistemik ini tidak akan menemukan titik terang. Hingga kini, korupsi dalam negeri yang mendukung globalisasi pun masih eksis.
Selain permasalahan pada permintaan pekerja berketerampilan tinggi, kini muncul permasalah pada polarisasi pekerjaan. Pekerja berketerampilan menengah dihadapkan dengan permintaan yang lebih rendah untuk tugas bersifat rutin-intensif. Dampaknya, pekerja berketerampilan menengah terpaksa terlibat dalam tugas-tugas yang kurang, atau lebih kompleks. Tanpa pendidikan atau pelatihan tambahan, diperkirakan bahwa kemampuan pekerja berketerampilan menengah lebih cocok untuk yang kurang tugas yang kompleks. Konsekuensinya, polarisasi pekerjaan akan mengakibatkan ketatnya persaingan pada pasar tenaga kerja. Di lain sisi, ketatnya persaingan pasar tenaga kerja tidak hanya mengakibatkan stagnasi pertumbuhan upah. Akan tetapi, persaingan antar pekerja berdasarkan jenis kontrak akan semakin ketat pula.
Isu sistemik baru pun muncul di Amerika Serikat. Apabila ditilik dari sejarahnya, Amerika Serikat maju dengan dukungan produksi dan ekspor baja. Akan tetapi, dengan terbukanya pasar internasional pada awal tahun 2002, segudang produsen di Amerika Serikat mampu mengimpor baja yang lebih murah dan berkualitas tinggi. Amerika Serikat pun berupaya menjalin hubungan dengan negara lain melalui perjanjian multilateral. Sangat disayangkan, perusahaan baja Amerika Serikat mengkalkulasikan bahwa keuntungan pada kesempatan yang diberikan oleh perjanjian multilateral tersebut sangat minim. Sehingga, terdapat perusahaan besar yang bangkrut dan memecat ratusan pekerja. Jumlah pengangguran akhirnya semakin meningkat. Namun, negara maju memiliki kebijakan yang menangani bisnis yang kurang menguntungkan. Kebijakan tersebut dikemas dalam pemberian subsidi.
Dari penyampaian materi di atas, bayangan akan kesempurnaan dari globalisasi nampaknya belum mampu direalisasikan. Sifat optimistik liberalisme tidak tercermin pada kesenjangan yang ada. Apakah ada upaya yang lebih tepat untuk mengatasi isu sistemik pada pasar tenaga kerja? Tidak hanya sekadar janji, namun sebuah aksi yang dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan. Kemudian, hal yang perlu dianalisis kembali yaitu siapa yang diuntungkan atas globalisasi beserta potensinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H