Sebagai ilmu yang mempelajari bahasa, linguistik terbagi menjadi beberapa cabang, seperti fonetik, morfologi, sintaksis, dan semantik. Fonetik membahas tentang cara pelafalan bunyi bahasa. Morfologi mempelajari pembentukan kata dan jenis-jenisnya. Sintaksis berfokus pada pembentukan dan variasi kalimat. Sementara itu, semantik mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan makna bahasa, termasuk makna literal dan non-literal. Salah satu aspek yang terkait dengan makna non-literal adalah bahasa kiasan, di mana metafora merupakan salah satu bentuk bahasa kiasan yang dibahas.
Metafora merujuk pada penggunaan bahasa yang menunjukkan sesuatu yang berbeda dari makna harfiahnya untuk menyiratkan adanya hubungan antara keduanya (Knowles dan Moon, 2006). Metafora adalah elemen penting dalam bahasa manusia. Sejak awal sejarah, manusia telah menggunakan metafora untuk menjelaskan hal-hal yang abstrak atau konsep-konsep baru yang sulit dijelaskan. Cara yang paling efektif adalah dengan menghubungkannya pada sesuatu yang konkret atau pada fenomena yang sudah dikenal dan mudah dipahami oleh masyarakat. Pengembangan makna melalui metafora ini bisa menciptakan makna baru yang dipengaruhi oleh interpretasi pribadi dan perasaan subjektif, yang pada gilirannya membentuk pola makna yang berlandaskan sosial budaya.
Yanow (dalam Ritchie, 2013) menyebutkan bahwa metafora adalah "the juxtaposition of two superficially unlike elements in a single context, where the separately understood meaning of both interact to create a new perception of each and especially of the focus of the metaphor," yang berarti bahwa metafora menyandingkan dua elemen yang tampaknya berbeda dalam satu konteks sehingga makna dari keduanya berinteraksi dan menciptakan persepsi baru, terutama pada fokus metafora tersebut.
Metafora merupakan jenis majas perbandingan yang bersifat implisit, di mana perbandingan dapat dibuat tanpa menggunakan kata-kata seperti seperti atau sebagai di antara dua hal yang berbeda. Contoh-contoh metafora meliputi istilah seperti sumber ilmu, kuli di antara bangsa-bangsa, buah hati, mata jarum, dan anak emas (Djajasudarma, 2009:25). Pandangan lain menyebutkan bahwa sejak lama, majas atau bahasa kiasan telah dianggap sebagai strategi retoris yang digunakan oleh pembicara dan penulis untuk memperindah bahasa lisan atau tulisan mereka. Secara tradisional, metafora didefinisikan sebagai penggunaan suatu kata atau frasa untuk menggambarkan hal lain yang memiliki kemiripan, seperti dalam ungkapan "cinta dan mawar."
Lakoff dan Johnson membagi metafora menjadi tiga jenis:
* Metafora orientasional, yaitu metafora yang berkaitan dengan pengaturan ruang, seperti atas atau bawah, depan atau belakang, keluar atau masuk, nyala atau mati, jauh-dekat, dalam-dangkal, dan tengah atau sekeliling.
* Metafora ontologis adalah metafora yang berkaitan dengan aktivitas, emosi, dan ide yang dipandang sebagai entitas atau objek yang berwujud dan memiliki substansi, sering kali melibatkan personifikasi.
* Metafora struktural adalah metafora yang luas yang memungkinkan pembaca untuk mengonseptualisasikan suatu ide dalam bentuk lain. Menurut Lakoff dan Johnson (seperti dikutip Aisah, 2010), metafora struktural ini didasarkan pada dua ranah, yaitu ranah sumber dan ranah sasaran, serta terhubung dengan pola yang sistematis dalam pengalaman sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H