Lihat ke Halaman Asli

Ketika Cantik Menjadi Petaka

Diperbarui: 11 Juli 2023   08:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.123rf.com/photo_133620044_a-face-of-crying-woman.html

Novel yang berjudul "Cantik itu Luka" adalah novel pertama dari Eka Kurniawan. Novel tersebut pertama terbit pada tahun 2002. Sebelumnya, berbicara mengenai kata "cantik", mungkin bagi sebagian orang menginginkan lahir ke dunia ini dengan memiliki paras yang cantik. Hal itu dirasa dapat menambah kepercayaan dalam diri perempuan. Namun, apakah cantik selamanya dapat menguntungkan?. Pada novel ini dibahas sosok bernama Dewi Ayu yang memiliki paras cantik namun kecantikannya tersebut justru menjadi malapetaka baginya. Novel ini mengandung unsur feminisme yang tergambar dari tokoh utamanya, yaitu Dewi Ayu.

Dituliskan pada novel, Dewi Ayu masuk ke Sekolah Guru Francisian dan ia memiliki guru-guru terbaik di Halimunda. Banyak orang dibuat kagum dengan kecerdasan alamiahnya tetapi juga dibuat khawatir dengan kecantikannya sehingga para biarawati mengusulkan dan mulai membujuk agar Dewi Ayu meneruskan karir sebagai biarawati dan mengambil sumpah kemiskinan, keheningan, dan kesucian. Tetapi, Dewi Ayu menolak karena menurutnya manusia bisa mengalami kepunahan karena tidak ada keturunan.

Salah satu bentuk bukti unsur feminisme di mana hak dan peran perempuan tercermin dari penggalan paragraf tersebut. Dewi Ayu mendapatkan hak bersekolah, dan dengan berani menentukan jalan yang dia pilih untuk melalui kehidupan ke depannya. Namun yang perlu digaris bawahi bahwa hal yang menjadi kekhawatiran justru datang dari kecantikan yang dia miliki, yang kemudian membawanya menuju sisi lain dunia yang sama sekali tak ia kehendaki. Kecantikan yang membawa petaka baginya karena menjadi objek hasrat seksual bagi kaum pria di era kolonial.

Dewi Ayu digambarkan sebagai sosok yang pasrah tapi tetap tegar. Sikap ini tergambar dengan bagaimana lihainya dia bernegosiasi kepada para penjajah dalam mempertahankan hidup, yang mirisnya hal ini tidak berhenti bergitu saja sampai akhir masa kolonial Belanda di bumi pertiwi, namun terus berlanjut hingga masa pemerintahan Jepang dan terus begitu sampai akhir hidupnya. Selain Dewi Ayu, dalam novel tersebut juga diceritakan banyak tokoh perempuan yang mengalami kepahitan, namun tak dapat lagi memilih bagaimana untuk terus hidup seperti keinginan mereka, melainkan hanya dengan pilihan mempertahankan hidupnya. Kecantikan dan kecerdasan Dewi Ayu membawa dia ke takdir yang begitu menyedihkan.

Kekerasan yang telah dialami oleh Dewi Ayu bukan hanya kekerasan dalam bentuk fisik, tetapi juga menorehkan luka batin yang begitu hebat. Kekalahan Belanda atas Jepang membuatnya semakin terperosok jauh. Namun hal ini tak membuatnya menyerah pada keadaan. Bahkan ketika keluarganya berupaya untuk menyelamatkan diri dari tentara Jepang ia justru memilih bertahan. Membuat kemalangannya semakin komplit, melihat keluarganya habis dibom oleh tentara Jepang. Salah satu teman sesama tawanan Dewi Ayu bernama Ola, yang harus menukar diri dengan tidur bersama salah satu komandan tentara Jepang hanya demi sebuah obat. Mereka hanya ditindas dan dimanfaatkan.

Perjuangan yang dilakukan oleh Dewi Ayu memanglah bukan perjuangan yang tergambar secara langsung. Tak ada perlawanan, penyelamatan diri ataupun pemberontakan yang dia lakukan kepada para kolonial. Si jelita ini tak memiliki banyak ruang untuk bergerak. Namun dalam novel juga dituliskan, selama di tahanan, Dewi Ayu mengumpulkan anak kecil dan mengajarinya membaca, menulis, berhitung bahkan sampai sejarah juga ia ajarkan. Hal ini menunjukkan pendidikan yang telah didapat Dewi Ayu sebelumnya berperan sangat penting. Berbekal ilmu yang dimilikinya menumbuhkan kepedulian terhadap sesama dan menjadi bukti ia begitu pandai bersosialisasi. Disini terlihat nilai feminisme yaitu memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak dan sebagian perempuan dengan membagikan pendidikan.

 Dewi Ayu memiliki empat orang anak yang kesemuanya adalah perempuan, antara lain, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Cantik. Ketiga putri memiliki paras yang cantik menurun dari sang ibunda, terkecuali putri yang terakhir. Sesuai harapan sang ibu, dia terlahir dengan buruk rupa. Pahit kehidupan dan luka mendalam turut dirasakan oleh anak-anak Dewi Ayu. Mereka sama-sama kehilangan suami dan anak-anak mereka.

Kisah-kisah yang berbeda namun terbalut dalam duka yang sama. Pada akhirnya setelah kematian cucu-cucu dan menantu Dewi Ayu, keempat anak Dewi Ayu kembali lagi saling bertemu dan berkunjung untuk memberikan semangat satu sama lain, saling menguatkan dan mengasihi. Tanpa suami, mereka akan melanjutkan hidup masing-masing. Anak Dewi Ayu yang terakhirpun sudah tak malu lagi dan tak memikirkan pendapat orang lain tentang wajah buruk rupanya. Di sini kita dapat memahami bahwa feminisme bukan hanya peran sebagai perempuan yang bersuara lantang untuk menyerukan kesetaraan, tapi feminisme itu datang justru dengan pola pikir bahwa kita sebagai perempuan juga berhak memiliki peran yang sama, memiliki hak yang sama, baik dalam pendidikan dan dalam mempertahankan harga diri. Karena sejatinya, semua itu berangkat dari setiap persepsi individu untuk terus bergerak dan memperjuangkan apa yang menurutnya perlu untuk terus diperjuangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline