Lihat ke Halaman Asli

Anik Meilinda

Penikmat air putih

Mboyong Mbok Sri, Sebuah Tradisi Sebelum Panen

Diperbarui: 20 Mei 2022   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa tradisi yang harus dilakukan sebelum memanen padi di daerahku (Sragen, Jawa Tengah) adalah 'Mboyong Mbok Sri', atau biasa juga disebut 'Ndeseli'. "Iki ki podo wae mantu Mbok Sri (Ini sama saja nikahannya padi)," kata Painah, wanita paruh baya si pemilik sawah. 

Ndeseli adalah memanen sebagian padi diiringi beberapa adat, misalnya membakar menyan, berdoa, dan bagi-bagi makanan. Adat ini biasa dilakukan si pemilik sawah sebelum memanen padinya.


Duh jadi keinget kejadian tadi, selepas Mbah Matrejo-tokoh yang memimpin upacara ini- memetik dan mendandani si padi, beliau mengulurkannya ke kami. Niat hatiku ingin menerimanya dahulu, karena Mbokde Painah-panggilanku kepada si pemilik sawah- sedang sibuk menata makanan. Eh, ternyata tidak boleh, beliau Mbah Matrejo menggeleng dan tetap menunggu ulurannya disambut Painah. "Baiklah," batinku.

Jadi, kami berangkat ke sawah sekitar pukul 07.00 pagi, bersama seperangkat makanan dan alat. Alat yang digunakan adalah ani-ani -sebuah bambu yang didesain sedemikian rupa, sehingga bisa digunakan untuk memotong padi. Namun, karena Mbah Matrejo kesulitan menemukannya, kali ini beliau menggantinya dengan arit atau clurit.

Selanjutnya, makanan yang dibawa. Yang pertama adalah nasi. Ini sudah pasti, ya namanya juga orang Indonesia, kalau mau panen padi bawanya roti ya agak gimana gitu. Tentu nasinya tidak sendirian, dia didampingi lauk pauk dan sayuran. Diantaranya ayam panggang -favorit aku-, kluban, bothok, dan sayur. 

Kali ini Mbokde Painah memilih menu sayur  kluweh. Selain itu, Mbokde juga memasak ketupat, umbi-umbian seperti uwi dan mbili, iwel-iwel (kue tepung beras yang tengahnya berisi kelapa dan gula jawa, dibungkus di daun pisang), pisang pesto, jadah (ketan yang setelah dikukus lalu ditumbuk itu lho), dan lepet (ketan yang dibungkus daun kelapa). 

Ada lagi yang tidak boleh ketinggalan, yakni seperangkat menyan, bunga, dan teman-temannya seperti tembakau, kinang, njet, suruh, dan kendi berisi air.

Tidak ada yang aneh dari upacara ini. Berdoa, lalu dilanjutkan bagi-bagi makanan. Nah, Sang pemimpin upacara, Mbah Matrejo adalah tokoh yang dituakan di dusun ini. Beliau adalah imam masjid, pemimpin kenduren, pemimpin upacara-upacara adat dan lain-lain. Beliaulah yang mengisi tanda tangan buku ramadhanku selama Sekolah Dasar. 

Begitu juga generasi setelahku hingga sekarang. Rumah beliau memang langsung menghadap masjid kampung kami, jadi tak heran kalau beliaulah yang istiqomah ngrumat masjid. Mugi-mugi sehat-sehat terus nggeh, Mbah. Ben anakku mbesok, tetap nemoni sholat tarawih diimami njenengan. "Gandengane wae rung kedeteksi, wis tekan anak," bantah batinku. Haha

Mbah Matrejo tetap membakar menyan, namun doa-doa yang dipanjatkan tetap kepada Allah Swt. Hal ini dibuktikan dengan semua upacaranya diawali basmallah dan dilanjutkan dengan doa-doa berbahasa Arab. Tapi, aku kurang tahu kalau Mbah baca yang lain juga ya. 

Kayaknya sih itu aja. Ngga sempet tanya-tanya banyak, beliau sudah sepuh dan keburu sibuk dan mau pulang katanya. Tapi, yang aku yakini sih demikian. Doa tetap ditujuan kepada Allah, dilanjutkan dengan sedekah. Makanan yang dibawa ke sawah tadi, dibagi-bagi ke orang-orang yang ditemui di sawah dan tentu saja aku. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline