Kualitas hidup seseorang dapat dilihat berdasarkan kesehatannya. Gangguan kesehatan dapat terjadi pada semua usia, terutama anak kecil lebih rentan karena daya tahan tubuh anak kecil masih dalam tahap berkembang. Masalah kesehatan yang umum terjadi di dunia adalah masalah gizi, baik kurus maupun gemuk. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2016, dari 667 juta anak di dunia, 50 juta diantaranya mengalami kekurangan berat badan dan 41 juta mengalami obesitas (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Indonesia, 2013). Pengukuran antropometri dengan menggunakan berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB) atau berat badan terhadap tinggi badan (BB/PB) merupakan salah satu cara untuk mengetahui status gizi seseorang. Indeks BB/TB atau BB/PB diklasifikasikan menjadi obesitas, kelebihan berat badan, normal, kurus, dan sangat kurus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Berdasarkan Survei Kesehatan Dasar (Rikesdas) yang dilakukan pada tahun 2013, berdasarkan indeks BB/TB, prevalensi kurus ekstrim menurun sebesar 0,9 persen, prevalensi kurus sebesar 0,6 persen, dan prevalensi obesitas sebesar 0,3 persen dari tahun 2007 hingga 2013. (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Indonesia, 2013).
Dampak buruk gizi buruk pada anak di masa depan sangatlah mengkhawatirkan. Selain gangguan tumbuh kembang juga dapat menyebabkan anak kurang bertenaga dalam melakukan aktivitas, perlindungan tubuh anak juga bermasalah, dan tidak terjadi perkembangan fungsi otak (Par'i 2016). Makan berlebihan juga mempunyai implikasi yaitu risiko terjadinya obesitas di kemudian hari dan penyakit degeneratif (Sudargo, Rosiyani, & Kusmayanti, 2014). Oleh karena itu, menjaga status gizi anak usia dini sangatlah penting. Menjaga status gizi anak kecil memerlukan pembekalan yang baik, karena pengetahuan ibu tentang makanan yang baik untuk anak kecil akan mempengaruhi status gizi anak kecil. Pendidikan seorang ibu dapat mempengaruhi pengetahuan seorang ibu. Semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin baik pula pengetahuan gizi ibu mengenai konsumsi makanan. Asupan gizi merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan status gizi anak usia dini. Asupan zat gizi dapat diperoleh dari zat gizi makro dan mikro. Selain itu, faktor yang mempengaruhi status gizi anak kecil antara lain pemberian ASI eksklusif, pola asuh orang tua anak kecil, dan pekerjaan ibu.
•Hubungan Pendidikan Ibu dengan Status Gizi Balita
Berdasarkan hasil analisis diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita. Menurut Andriani dan Bambang (2012), segala pengetahuan yang ada khususnya tentang pendidikan anak yang baik dapat diterapkan apabila ibu mempunyai pendidikan yang baik sehingga ibu dapat memberikan menu yang sesuai dengan kebutuhan keluarga khususnya anak. Sehingga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi responden. Semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin mudah ibu memperoleh ilmu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat meningkatkan tanggung jawab ibu dalam pengambilan keputusan ketika timbul masalah gizi dalam keluarga.
•Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi Balita
Berdasarkan hasil analisis, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan status gizi balita. Hasil ini bertentangan dengan pendapat Wawan dan Dewi (2011) bahwa pekerjaan ibu sangat mempengaruhi kehidupan keluarga. Ibu yang bekerja cenderung banyak menghabiskan waktu di luar rumah sehingga berisiko tinggi kurang memberikan perhatian pada balitanya, walaupun balita tersebut belum mampu terpuaskan kebutuhannya, sehingga harus diperhatikan dan diperhatikan terutama pada saat berada di luar rumah. diberi makanan. kebutuhan anak usia dini.
•Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Status Gizi Balita
Berdasarkan hasil analisis diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita. Menurut Andriani dan Bambang (2012), kurangnya pengetahuan gizi atau ketidakmampuan ibu menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Kegagalan mengikuti informasi ini, seperti memurnikan makanan secara berlebihan atau memasak sayuran dalam jangka waktu lama, dapat merusak dan menghilangkan nilai gizi makanan.
•Hubungan ASI Eksklusif dengan Status Gizi Balita
Berdasarkan hasil analisis diketahui tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif dengan status gizi balita. Namun hal ini berbeda dengan penelitian Oktavianis (2016) yang menunjukkan adanya hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan status gizi bayi. Hasil penelitian ini bertentangan dengan pendapat Andrian dan Wijatmad (2012) bahwa ASI eksklusif merupakan makanan terbaik untuk memenuhi kebutuhan gizi 6 bulan pertama, sehingga pemberian ASI eksklusif juga akan menjamin gizi yang baik bagi anak kecil. Menurut Arif (2009), ASI dapat disebut sebagai satu-satunya makanan bagi bayi selama 6 bulan pertama. Setelah itu, ASI tetap diberikan dengan MPASI hingga 2 tahun.
•Hubungan Asupan Energi dengan Status Gizi Balita
Berdasarkan hasil analisis diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi energi dengan status gizi balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan pandangan Wijayant (2017), dimana dengan konsumsi energi yang cukup sesuai kebutuhan dan aktivitas, maka berat badan dapat dipertahankan sedemikian rupa sehingga nilai gizinya juga tetap terjaga dan gangguan gizi dapat dicegah.
•Hubungan Asupan Protein dengan Status Gizi Balita
Berdasarkan hasil analisis diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi protein dengan status gizi balita. Hal ini juga sesuai dengan gagasan Williams dan Wilkins (2011) bahwa fungsi utama protein adalah sebagai bahan pembangun yang memelihara struktur dan jaringan tubuh serta sebagai sumber energi. Hanya dengan melihat fungsinya saja sudah terlihat betapa pentingnya protein bagi tubuh anak di masa pertumbuhannya.
•Hubungan Asupan Lemak dengan Status Gizi Balita
Berdasarkan hasil analisis diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi lemak dengan status gizi balita. Penelitian ini sejalan dengan pendapat Hardinsyah dan Supariasa (2016) yang menyatakan bahwa konsumsi lemak dapat mencegah berkembangnya penyakit menular dan penyakit tidak menular khususnya masalah gizi. Sebab, lemak berperan sebagai sumber energi pengganti, pelumas jaringan, pemasok asam lemak esensial, penyerap vitamin larut lemak, pelindung organ dalam, dan pengatur suhu tubuh.
•Hubungan Asupan Karbohidrat dengan Status Gizi Balita
Berdasarkan hasil analisis diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi karbohidrat dengan status gizi anak usia dini. Hal ini didukung oleh Williams dan Wilkins (2011) dimana konsumsi karbohidrat merupakan salah satu sumber energi yang paling mudah ditemukan dan diperoleh. Karbohidrat juga berperan sebagai penyedia energi bagi otak dan saraf, mengatur metabolisme lemak, menyimpan glikogen dan mengatur gerak peristaltik usus.
•Hubungan Asupan Vitamin A dengan Status Gizi Balita
Berdasarkan hasil analisis diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi vitamin A dengan status gizi. Hal ini sejalan dengan pendapat Williams & Wilkins (2011) yang mengatakan bahwa selain memiliki fungsi penting pada fungsi mata, vitamin A juga memiliki fungsi dalam pertumbuhan dan perkembangan jaringan dan fungsi imun tubuh. Kekurangan vitamin A merupakan salah satu faktor risiko terjadi infeksi campak yang parah pada balita dan membuat perubahan pada tekstur kulit yang bila berkepanjangan dapat mempengaruhi penurunan berat badan.
•Hubungan Asupan Vitamin C dengan Status Gizi Balita
Berdasarkan hasil analisis diketahui terdapat hubungan bermakna antara asupan vitamin C dengan status gizi balita. Hal ini sejalan dengan penelitian Sealey dan AC (2014) tentang adanya hubungan antara asupan vitamin C dengan status gizi balita. Penelitian ini sejalan dengan pemikiran Sharlin dan Edelstein (2014) yang mengatakan vitamin C berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan jaringan selain sebagai antioksidan.