Lihat ke Halaman Asli

Meilanie Buitenzorgy

Mantan kandidat PhD, University of Sydney, Australia

Balada Sekolah Favorit: Drama Rutin di Tahun Ajaran Baru

Diperbarui: 10 Juli 2015   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tiap tahun sekitar bulan Mei-Juni, newsfeed Facebook saya akan dipenuhi status repotnya teman-teman saya mencari bangku sekolah favorit untuk anak-anak mereka. Saya jadi teringat masa kecil dan remaja saya. Seumur hidup saya, selalu bersekolah di sekolah negeri terbaik di kota tempat saya tinggal.

Lalu saya bertanya pada diri sendiri, sebenarnya apa indikator sekolah negeri favorit di Indonesia, selain penetapan standar nilai ujian masuk tertinggi dibanding sekolah-sekolah negeri lainnya? Pertanyaan yang lebih mendasar, apa sebenarnya manfaat lebih yang diperoleh anak yang masuk sekolah negeri favorit di Indonesia, selain mendapat teman-teman yang sama-sama pintar?

Saya pernah dengar cerita-cerita menggelikan dari teman-teman di sebuah SMA favorit di Jawa Barat. Konon, di sana, guru-gurunya jarang masuk mengajar, sibuk cari tambahan income mengajar di luar. Toh para muridnya mampu lolos saringan masuk ke universitas-universitas top di tanah air, karena mereka memang sudah pintar-pintar “dari sononya”.

Pendidikan SD di Australia: santai dan berkarakter

Studi lanjut yang saya mulai sejak 2010 di Sydney membawa berkah tersendiri untuk anak-anak saya memperoleh pengalaman merasakan pendidikan dasar dan menengah Australia. Anak sulung saya, Raissa, mulai bersekolah di sini sejak kelas 3 SD hingga sekarang ia sudah duduk di kelas 8 (high school).

Hampir tidak ada SD negeri favorit di NSW. Kualitas SD milik pemerintah (Public School) dapat dikatakan hampir seragam.Penentuan lokasi sekolah untuk tiap anak menggunakan sistem rayonisasi. Jadi, anak-anak cukup bersekolah saja di sekolah terdekat dari rumah mereka.

Memang ada Public School tertentu yang memiliki kelas khusus Opportunity Class (OC) untuk membina anak-anak pintar. Namun, tidak banyak juga orang tua yang bela-belain anaknya untuk masuk ke Public School ber-OC yang jauh dari rumah.

Dari pengamatan saya terhadap Raissa dan Zetta selama usia SD, pendidikan dasar Australia sangat menekankan pada pembangunan karakter anak. Pembentukan sikap dan perilaku yang baik sejak usia dini menjadi salah satu misi utama para guru SD. Bullying misalnya, hukumnya haram. Zetta sudah pakai jilbab ke sekolah sejak TK. Raissa hanya satu-satunya murid berjilbab di sekolahnya yang memiliki 1000 orang murid. Tapi Alhamdulillah, sampai sekarang mereka tidak pernah sekalipun di-bully oleh teman-temannya.

Anak-anak SD di Australia tidak dibebani dengan muatan akademis yang bertimbun-timbun seperti di Indonesia. Pekerjaan rumah hanya dua lembar, diberikan seminggu sekali. Tidak ada ujian rutin serentak seperti UTS dan UAS. Guru-guru akan memberikan ujian kapan saja saat diperlukan, tidak pakai pengumuman. Anak-anak tidak perlu belajar khusus di rumah untuk menghadapi ujian ini, cukup berbekal apa yang dipelajari selama di kelas.

Sebagai orang tua, tentu saja, saya sangat bahagia dengan situasi santai ini. Dan saya ikut prihatin dengan rekan-rekan di tanah air yang selalu stress dan kerepotan membimbing anak-anaknya belajar saban musim UTS dan UAS. Saya juga sempat mengalami hal yang sama saat Raissa duduk di kelas 1 dan 2 SD di Indonesia. Anaknya yang ujian, selalu dan selalu, emaknya yang stress.

Seleksi transparan sekolah favorit di Australia

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline