Cuaca siang itu agak mendung. Aku mulai menapakkan kaki ke jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan. Dengan santai aku bersama kedua kawanku menuju pusat kota. Di sebuah kota kecil yang dulu cukup memiliki sejarah menarik. Tempat singgahnya tuan-tuan Belanda waktu kolonial. Tempat ditandatanganinya perjanjian antara Pangeran Sambernyawa dan Kasunanan Surakarta beserta VOC. Bertemunya Pak Soekarno dengan Bu Hartini. Sampai tempat yang turut bergejolak 50 tahun silam.
Sambil jalan, kami melihat bangunan-bangunan. Sepanjang jalan yang dilewati, tampak bangunan-bangunan megah, tidak berpenghuni, luas, dan ada beberapa yang cukup tua. Mungkin si pemilik bangunan-bangunan itu jarang di rumah, sehingga terkesan “singup” dan kosong. Sayang. Orang banyak membangun rumah tapi tidak dihidupkan.
Sampailah di pusat perkumpulan orang-orang. Di alun-alun yang kerap dikunjunig orang. Ya, hari ini ada karnaval. Acara ini masih dalam rangka merayakan 71 tahun negeri ini lepas dari penjajahan luar. Dengar-dengar dari cerita orang, karnaval ini diikuti oleh setiap kecamatan yang ada di Salatiga. Bahkan sampai pada tingkat desa pun terlibat. Tak ketinggalan pula dari instansi sekolah.
Ramai. Penuh. Pengap. Sesak. Bising. Orang-orang berbondong-bondong melihat apa yang ditampilkan di jalanan. Tua-muda. Kakek-nenek. Bapak-ibu. Bayi. Balita. Anak-anak. Pemuda-Pemudi. Penjual keliling. Penjual dengan gerobak. Mata seolah dimanjakan dengan pertunjukan kesenian dan arak-arakan. Tarian. Kostum meriah. Budaya. Bercampur di jalanan. Tak lupa, kamera yang siap jepret disetiap momen.
Meriah. Tapi dibalik hingar bingar ada keprihatinan. Sampah menjajaki setiap langkah. Perusakan tanaman hias terjadi disepanjang jalan pemkot, padahal sudah dipagari. Mungkin orang-orang terlalu bersemangat untuk menyaksikan pertunjukan yang ada di jalan, sehingga lupa kalau ada saudara yang mereka injak-injak. Saudara yang mereka kotori.
Kemeriahan, kegembiraan, tapi tidak diimbangi kesadaran hidup berdampingan dengan alam. Keberagaman yang tercipta di kota ini memang menghasilkan kesan “cantik”. Namun perlu ditanamkan dalam setiap diri bahwa saudara kita bukan hanya sesama manusia. Tumbuhan, hewan, dan apapun yang ada di bumi ini merupakan saudara, bagian yang integral dalam membentuk kehidupan.
Oh ya, aku lanjutkan ceritanya. Seusai melihat karnaval, kami makan siang di sebuah warung yang terletak diujung barat alun-alun. Kenyang. Kembali berjalan menuju kediaman melewati komplek-komplek perumahan sepi. Berhayal dan bercerita tentang rumah yang sehat. Istirahat
Ya, begitulah. Ini hanya catatan seorang muda yang mencoba melihat lingkungan sekitar. Salam lestari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H